Legal backup Akuntan Profesional dalam pelaporan keuangan dinilai belum memadai. Undang-Undang Pelaporan Keuangan wajib hukumnya.

Tidak ada yang menafikan peran Akuntan Profesional dalam mengawal laju pertumbuhan ekonomi negeri ini. Untuk peran itu, Akuntan diembel-embeli ‘pengawal transparansi’ yang memastikan akuntabilitas semua entitas dan lintas sektoral. Mulai sektor publik, privat, nirlaba, hingga dunia politik kini membutuhkan keterlibatan Akuntan dalam berbagai aktivitasnya.

Para legislator DPR dalam sebuah Rapat Dengar Pendapat Umum di pengujung November lalu bahkan menggelari Akuntan sebagai ‘guardian angel’ (malaikat penjaga) yang akan memastikan semua aktivitas publik berjalan di relnya. Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) sebagai organisasi profesi yang mewadahi Akuntan Profesional, pasti akan berperan penting dalam setiap proses tersebut.

Sama halnya akan pentingnya sebuah pelaporan yang transparan, kredibel, dan mencerminkan aktivitas entitas yang sebenarnya. Belum lagi jika kita bicara sustainability reporting dan integrity reporting yang sangat komprehensif yang hanya bisa diterbitkan oleh Akuntan Profesional dengan kualifikasi tertentu.

Bahkan dalam konteks masa depan, peran itu akan semakin seiring waktu dan evolusi akuntansi dalam bisnis modern. Dituntut sebuah payung hukum yang kuat yang akan meregulasi profesi dalam berbagai aspek. Dalam hal ini, urgensi Akuntan Profesional dalam pelaporan keuangan sudah tumbuh ke tingkatan baru.

Di sektor publik misalnya, sudah akan menyelenggarakan akuntansi berbasis akrual dalam pelaporan keuangan mereka. Gus Irawan Pasaribu, Wakil Ketua Komisi XI DPR RI meyakini ini bukanlah persoalan mudah. Butuh persiapan dari semua penyelenggara negara, serta butuh support dari Akuntan serta IAI. Penerapan basis akrual ini dipastikan akan mengubah peroleh opini wajar tanpa pengecualian (WTP) yang selama ini banyak dibanggakan K/L dan Pemda sebagai pencapaian dalam pelaporan keuangan mereka.

Belum lagi di sektor-sektor lain yang selama ini memang mengandalkan peran serta Akuntan dalam setiap gerak langkah mereka. Dewasa ini bahkan sulit mengidentifikasi entitas mana yang terlewat dari keikutsertaan Akuntan di organisasinya.

Namun urgensi yang sedemikian penting, belum tercermin dari legal backup yang melingkupinya. Hingga saat ini di level undang-undang (UU), baru ada UU Nomor 34 Tahun 1954 yang meregulasi secara umum seluruh akuntan negeri ini. Baru pada tahun 2014 keluar PMK 25/PMK.01/2014 tentang Akuntan Beregister Negara yang memuat penataan ulang profesi Akuntan Indonesia.

Karena itu lahirnya UU Pelaporan Keuangan (PK) sangat ditunggu oleh seluruh Akuntan Profesional Indonesia untuk memastikan aktivitasnya makin teregulasi dan terlindungi. UU PK akan sangat layak diperjuangkan oleh seluruh Akuntan Profesional di sektor manapun dia berkarya. Keberadaan UU ini tidak hanya membuat Akuntan makin nyaman dalam berkarya memberikan yang terbaik, tapi pada akhirnya akan membawa kemaslahatan bagi masyarakat.

Karena itu, UU PK ini layak diperjuangkan sebagai sebuah artefak penting yang akan menjadi peninggalan generasi ini bagi masa depan perekonomian bangsa. Akuntan Profesional perlu mendorong segenap kekuatan dan networking yang dipunyai untuk mendorong lahirnya sebuah payung hukum baru, sekaligus kepingan puzzle terakhir dalam penataan profesi.

Substansi RUU PK
Anggota DPN IAI, Dwi Setiawan menilai, setidaknya ada tiga substansi yang bisa diatur dalam UU PK, yaitu aspek kelembagaan, aspek tata laksana, dan aspek sumber daya manusia. Ketiga aspek ini akan menitikberatkan pada upaya membangun sebuah sistem pelaporan yang makin terintegrasi yang mewajibkan kehadiran Akuntan Profesional dalam setiap prosesnya.

Seperti dikatakan Kepala PPAJP Kemenkeu, Langgeng Subur, beberapa hal penting terkait RUU PK ini antara lain, yang bisa menerbitkan laporan keuangan hanya Akuntan dengan kualifikasi tertentu. Lalu ada pengaturan tentang standard setter. “Selama ini IAI melalui DSAK yang menyusun standarnya. Makanya kita juga usulkan standard setter itu dari IAI, jelas Langgeng.

Bagi pemerintah, diajukannya RUU PK ini sebagai salah satu upaya untuk melakukan pembenahan dan penataan profesi akuntan menjadi lebih baik. Akhir bulan lalu, Kementerian PPN/Bappenas bertemu dengan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) yang menyampaikan semua RUU yang diajukan oleh kementerian.

Kemenkeu sendiri menginisiasi 10 RUU, salah satunya RUU PK. Dari situ, hasilnya akan dikirim ke Badan Legislasi Nasional (Balegnas) DPR.

Dilihat dari posisi strategis itu, dalam RDPU tersebut kalangan anggota Komisi XI sepakat untuk mendukung percepatan pembahasan RUU tersebut. Upaya untuk menciptakan akuntabilitas publik itu akan disinkronisasi dengan pemerintah yang kini tengah menyiapkan draft RUU PK. IAI sebagai center of knowledge diminta menjaga pembahasannya agar substansi RUU tersebut nantinya memang sesuai dengan semangat perbaikan yang ingin diciptakan. *DED/TOM
Referensi
(Tulisan ini telah terbit di Majalah Akuntan Indonesia Edisi Desember 2014)
http://www.iaiglobal.or.id/v02/berita/detail.php?catid=&id=779