Paradigma Postmodernis dalam Riset Akuntansi
Paradigma posmodernis dalam akuntansi muncul sebagai reaksi kritis terhadap modernisme yang berlandaskan positivisme yakni kepercayaan pada objektivitas, universalisme, dan metode ilmiah tunggal. Pemikiran postmodernisme, yang dipelopori oleh tokoh-tokoh seperti Derrida (dekonstruksi), Lyotard (penolakan “grand narratives”), Foucault (analisis kekuasaan), dan Rorty (kontingensi bahasa), menolak gagasan bahwa praktik akuntansi dapat dilepaskan dari konteks sosial, historis, dan budaya yang membentuknya. Melalui lensa genealogy dan dekonstruksi, mereka menyoroti bahwa entitas akuntansi bukan sebuah objek murni, melainkan “teks” yang dihasilkan oleh wacana teknokratik dan relasi kekuasaan.
Di bawah paradigma ini, laporan keuangan dan praktik akuntansi dipandang sebagai konstruksi wacana (discourse) yang meneguhkan norma-norma tertentu. Dekonstruksi digunakan untuk “meleburkan” oposisi biner dan mengungkap asumsi-asumsi tersembunyi di balik standar seperti standard costing dan budgeting, yang sebenarnya sarat dengan kepentingan efisiensi nasional dan kontrol individu. Foucaultian framing menegaskan bahwa akuntansi berfungsi sebagai “governmentality”, di mana individu diprogram dan dinormalisasi melalui metrik kinerja. Selain itu, postmodernisme menegaskan relativisme ekstrim dan pluralitas perspektif, menolak satu “kebenaran” tunggal dan mendorong refleksivitas peneliti untuk mengakui bias dan posisi sosial mereka.
Melalui paradigma posmodernis, penelitian akuntansi bertransformasi dari fokus “berapa besar” menjadi “bagaimana” dan “mengapa” angka-angka itu dihasilkan. Analisis genealogis mengkaji asal-usul konsep fair value, cost allocation, atau pengukuran liabilitas sebagai bagian dari proyek disipliner yang lebih luas dalam industri. Pendekatan critical accounting kemudian memberi ruang bagi suara-suara yang diabaikan untuk menantang dominasi standar internasional yang seringkali di-diskreditkan. Metodologi kualitatif seperti etnografi dan analisis wacana pun menjadi semakin umum dalam literatur akuntansi non-mainstream.
Salah satu tantangan utama adalah relativisme yang berlebihan: jika semua interpretasi dianggap setara, lalu bagaimana merumuskan pedoman normatif minimum agar laporan keuangan tetap dapat dipercaya dan dibandingkan? Hal ini menciptakan kontradiksi antara kebutuhan praktik profesional yang menuntut kepatuhan pada standar baku dengan kebebasan interpretasi yang dijunjung oleh postmodernisme. Selain itu, pendekatan dekonstruktif menuntut keahlian kualitatif dan refleksivitas tinggi yang belum meluas di kalangan akuntan praktisi, sehingga implementasi di lapangan seringkali menemui hambatan budaya dan institusional.
Refrensi:
- Hadiwinata, R. (1994). Paradigma Postmodernisme. In Iwan Triyuwono, Multi Paradigma dalam Penelitian Akuntansi: Suatu Tinjauan Konsep
- Miller, P., & O’Leary, T. (1987). Accounting as discourse: The problem of decontextualization. Accounting, Organizations and Society, 12(3), 235–265.
- Triyuwono, I. (2006). Penelitian Akuntansi Non-Mainstream dalam Paradigma Postmodernisme. Text-ID.
- Hopper, T., & Powell, A. (1985). Making sense of research into the organizational and social aspects of management accounting: A review of its underlying assumptions. Journal of Management Studies.
- Cooper, C., & Sherer, M. (1984). The value of corporate accounting reports: Arguments for a political economy of accounting. Accounting, Organizations and Society.
- Walsh, J., & Stewart, J. (1993). Foucault and accounting: reflections and conjectures. Accounting, Organizations and Society.
Comments :