Oleh: Mochammad Bayu Tjahono, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Isu perang dagang antara Indonesia dan Amerika mewarnai semester I tahun 2018. Dari bulan Januari sampai dengan Juni 2018 neraca perdagangan Indonesia mengalami surplus (perbandingan ekspor dan impor) hanya di bulan Maret. Dan kembali menjelang akhir semester I neraca perdagangan di bulan Mei defisit 1,52 miliar dollar padahal ekspor di bulan Mei berada pada posisi tertinggi di semester I yaitu sebesar 16,12 miliar dollar.

Di tengah laju impor yang tidak terbendung, semua jenis impor naik di bulan Mei 2018. Hal ini menyebabkan nilai rupiah mengalami depresiasi. Kenaikan impor dilakukan pemerintah dan swasta untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakat. Impor kebutuhan pokok dilakukan untuk stabilitas harga pangan dan menjamin ketersediaan bahan pokok di bulan puasa dan hari raya.

Selain kebutuhan pokok, lonjakan impor juga didominasi oleh pemenuhan bahan bakar dan bahan pembangunan. Indonesia merupakan negara pengimpor bersih BBM, hal ini dikarenakan kemampuan pengolahan minyak mentah menjadi bahan bakar minyak di Indonesia belum mampu memenuhi kebutuhan untuk seluruh negeri. Apalagi di bulan puasa dan Idul Fitri, Pertamina harus meningkatkan cadangan dan menjamin ketersediaan BBM di stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU), dampaknya impor minyak naik hampir 20%.

Tidak semua impor kita adalah bahan pokok. Ada juga impor barang modal dan bahan baku, hal ini diharapkan dapat mempercepat laju pertumbuhan ekonomi. Impor bahan baku ini memang dilakukan pemerintah untuk mempercepat penyelesaian proyek infrastruktur. Memang sebagian masyarakat masih memandang hal ini dengan cara yang salah. Proyek pembangunan infrastrutur disiapkan untuk pemerataan pembangunan dan memacu industri, dimana industri diharapkan dapat mudah memasarkan barang hasil produksinya.

Neraca Perdagangan Indonesia dan Amerika

Pada semester I dari bulan Januari sampai dengan April 2018, menurut Menteri Perdagangan total perdagangan Indonesia dan Amerika mencapai 9,36 miliar dollar, dengan nilai ekspor kita mencapai 6,1 miliar dollar dan impor kita mencapai 3,26 miliar dollar. Dari total 6,1 miliar dollar, 5,8 miliar merupakan ekspor non migas sedangkan import kita juga didominasi non migas yaitu sebesar 3 miliar dollar. Neraca perdagangan kita dengan Amerika memang selalu surplus dari tahun ke tahun. Meski demikian bila dilihat dari tahun 2013 sampai 2018 mengalami penurunan sampai dengan 2016 dan mengalami kenaikan yang besar di tahun 2017.

Pemerintah Amerika berencana akan meninjau ulang hubungan dagang dengan Indonesia. Hal ini dilakukan setelah Amerika juga meninjau hubungan dagang dengan Cina. Pemerintah Amerika berencana akan memberikan kenaikan bea untuk produk yang diekspor oleh Indonesia. Hal ini dilakukan memang karena neraca perdagangan Indonesia dan Amerika bagi Amerika selalu minus dan ini nantinya pasti menimbulkan dampak bagi pemerintah dan pengusaha.

Indonesia selama ini menikmati fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) dari pemerintah Amerika. Fasilitas ini adalah semacam pemberian keringanan tarif bea masuk kepada suatu negara. Jika fasilitas tersebut dihapus maka setidaknya kalangan pengusaha harus membayar sebesar 25 triliun rupiah, hal ini akan mempengaruhi nilai produk yang dijual.

Bukan hanya di sektor perdagangan saja, perang dagang ini juga akan menaikkan suku bunga bank sentral Amerika (The Fed). Kenaikan ini secara langsung akan mengakibatkan neraca keuangan terganggu. Dampak lain adalah investasi dalam negeri juga akan mengalami gangguan atau mengalami penurunan.

Untuk melakukan antisipasi perlu dicari pasar lain untuk produk-produk yang selama ini dikirim ke Amerika, sehingga tidak terlalu besar pengaruhnya.

Tantangan Bagi Indoneia

Kondisi tekanan neraca perdagangan Indonesia menghadapi banyak tantangan, beberapa Negara yang terdampak perang dagang dengan Amerika pasti akan mencari pelampung bagi ekspor-ekspor mereka yang selama ini dilakukan ke Amerika bahkan beberapa Negara sudah melakukan devaluasi nilai mata uangnya.

Selain tekanan yang banyak terhadap neraca perdagangan tentu ada berkah terselubung terhadap Negara kita. Perang dagang ini harus disikapi dengan meningkatkan efisiensi produksi, mulai dari mengurangi impor terhadap beberapa barang modal sampai bahan baku. Pengurangan impor ini diharapkan akan mendorong masuknya investasi riil di sektor industri dengan dibangunnya industri dari hulu sampai hilir.

Tekanan ini juga diharapkan dapat mendorong kemandirian bangsa, mendorong bangsa ini untuk bisa mengolah sumber daya sendiri, menghemat penggunaan sumber daya alam, dan menciptakan sumber daya pengganti. Banyak sumber daya manusia kita yang selama ini berkreasi di luar negeri, diharapkan juga dapat kembali untuk membangun negeri ini.

Peningkatan industri tentunya juga akan meningkatkan penerimaan pajak. Kenaikan nilai suku bunga juga berpengaruh kepada nilai pinjaman. Kalau selama ini pembangunan kita ditunjang oleh hutang, maka dengan perang dagang ini diharapkan memicu kemandirian bangsa, memicu kenaikan pajak, sehingga pajak dapat digunakan sebagai sumber bagi kemandirian bangsa.

Kalau selama ini, peran pajak bisa mencapai 70% dari APBN, maka diharapkan nantinya peran pajak akan meningkat. Negara modern adalah Negara yang pelaksanaan bernegaranya dibiayai oleh pajak. Dirgahayu Pajak, Bayarlah pajak untuk mewujubkan Indonesia bangsa yang mandiri dan bermartabat.

Perang Dagang dari Pajak

Sumber:http://www.pajak.go.id/article/perang-dagang-dan-pajak

SH