Akuntansi industri migas cenderung kompleks. Butuh pemahaman ekstra agar tidak terjebak polemik.

Cost recovery di industri migas dipahami sebagai pengembalian dana yang dipergunakan kontraktor untuk operasi di industri perminyakan. Jadi bukan biaya operasi pada perusahaan secara umum. Kesalahan akuntansi dalam memastikan cost recovery bisa menimbulkan polemik di industri migas.

Senior Manager SKK Migas, Rinto Pudyantoro, Ak., CA menjelaskan, bisnis hulu migas adalah bisnis pemerintah yang pengusahaannya dilakukan oleh SKK Migas. Dalam upaya mengoptimalkan pengusahaan hulu migas itu SKK Migas melakukan kerja sama dengan para kontraktor yang berlaku sebagai ‘pekerja’. Yaitu mereka bekerja atas dasar kontrak.  Dan kontrak ini menjadi unik, karena seluruh modal sementara (awal) disediakan oleh kontraktor. Nantinya seluruh modal yang mereka keluarkan itu, tak ubahnya dana talangan, akan dikembalikan apabila usaha yang dilakukan telah berhasil.

Memang cost recovery itu tidak secara tegas di tulis dalam kontrak kerja sama. Yang ada hanyalah dalam klausul di sebuah kontrak, dalam point 6.1.1, yaitu: Kontraktor akan memperoleh kembali penggantian atas biaya operasi dengan diambilkan dari hasil penjualan atau penyerahan lainnya dari jumlah minyak dan gas bumi senilai dengan biaya operasi, yang diproduksi dan disimpan dan tidak digunakan dalam operasi minyak dan gas bumi. Biaya operasi dapat digunakan sebagai pengurang penghasilan dalam menghitung penghasilan kena pajak kontraktor.

Dan celakanya, frasa yang menyatakan bahwa ‘memperoleh kembali penggantian biaya operasi’ ini oleh banyak pihak didefinisikan sebagai cost recovery. “Itu salah satu kesalahpahaman dalam melihat cost recovery. Sehingga tak aneh jika ada yang mengira bahwa bisnis hulu migas adalah seratus persen bisnisnya kontraktor,” jelas Rinto. “Ada yang menyangka,  PT Chevron Pacific Indonesia adalah pemilik bisnis yang ada di Riau. Dikiranya, CNOOC, perusahaan minyak asal Tiongkok, yang memiliki bisnis di Laut Jawa hingga daerah Lampung. Padahal sebenarnya tidak demikian,” ujarnya.

Secara teknis, pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan migas memiliki beberapa area yang menurut pemerintah berpotensi mengandung cadangan migas. Hanya karena pemerintah tidak ingin melakukan sendiri kegiatan eksplorasi, maka pemerintah mencari partner bisnis. Partner ini harus menanggung risiko, memiliki dana yang tidak terbatas dan memiliki keahlian untuk melakukan eksplorasi. Perusahaan yang tertarik dapat bergabung dan akan berkontrak dengan SKK Migas. Selanjutnya SKK Migas ini akan berperan sebagai manajemen dan perusahaan itu sebagai kontraktor.

Bedanya dengan bisnis umum, dalam konteks ini, SKK Migas tidak menanggung risiko kegagalan eksplorasi dan tidak menanggung risiko kegagalan eksplorasi dan tidak mengeluarkan uang. Artinya, kontraktor itu menyiapkan dana untuk membiayai seluruh operasional perusahaan sampai dia mendapatkan cadangan migas. Dalam arti, kontraktor menyediakan dana talangan yang akan dikembalikan jika bisnis berhasil.

“Jadi tidak benar pernyataan yang menyebut sumber daya alam migas dikuasai asing. Karena para penyusun kontrak kerja sama bisnis hulu migas sangat memahami semangat bahwa sumber daya migas memang dikuasai Negara,” ujar Akuntan Profesional itu. “Makanya mereka tidak akan gegabah dalam menyusun kontrak yang melanggar UUD 1945 pasal 33,” ia menambahkan.

Sesuai perjanjian dalam kontrak yang dibuat SKK Migas dengan para kontraktor migas, jika bisnis berhasil, cadangan minyak ditemukan dan bisa dikomersialkan, maka dana yang digunakan untuk membiayai operasional, membiayai proyek pemerintah tersebut yang kemudian disebut sebagai biaya operasi, akan dikembalikan kepada kontraktor.

Biaya operasi untuk bisnis hulu migas di Indonesia yang mendasarkan kepada kontrak bagi produksi tidak sama dengan biaya operasi dalam bisnis pada umumnya. Bahkan juga tidak sama persis dengan pemahaman biaya operasi yang dipergunakan dalam pembukuan perminyakan internasional yang didasarkan pada full costing principles atau successful effort principles.

Ada beberapa hal yang menyebabkan cost recovery berbeda dengan biaya operasi dalam pengertian umum. Pertama, profit sharing contract (PSC) biaya eksplorasi yang terjadi sebelumnya akan diakumulasi dan dapat dibebankan pada tahun-tahun berikutnya. Maksudnya, jika produksi minyak bumi tidak terlalu besar maka dana yang sudah dikeluarkan dan diakui sebagai biaya operasi bisa dibebankan ke tahun berikutnya.

Kedua, PSC memisahkan pengeluaran dalam dua kategori yaitu pengeluaran untuk kapital dan non kapital. Pengeluaran non kapital akan diperhitungkan sebagai biaya operasi yang akan diganti dengan produksi  yang dihasilkan. Pengeluaran non kapital termasuk pengeluaran untuk intangible drilling (pengeluaran pengeboran sumur yang tidak tampak).

Pengeluaran non kapital ini yang kemudian disebut sebagai biaya operasi perminyakan tidak bisa diperbandingkan dengan biaya operasi sebagaimana dipahami pada istilah umum akuntansi. Karena pengeluaran tersebut dalam pemahaman umum dinyatakan sebagai aset tetap dan ditampilkan dalam neraca.

Ketiga, metode depresiasi yang digunakan dalam PSC ini cenderung berbeda dengan perusahaan umum. PSC menggunakan metode deciling balance sedangkan pada beberapa perusahaan menggunakan metode garis lurus berdasarkan volume produksi.

Makanya dalam hal ini, perlu juga diperhatikan, biaya operasi pada perusahaan bisnis non hulu migas bersifat linear dengan produksi. Sementara pada bisnis hulu migas tidak demikian. Biaya pada tahun ini tidak akan diikuti dengan kenaikan produksi migas pada tahun yang sama. Pembebanan unrecover cost prior period menjadi salah satu penyebab kenapa cost recovery tidak linier terhadap produksi.

Dengan begitu, bagi ekonom perminyakan, demikian juga bagi para pihak yang berkontrak, SKK Migas dan kontraktor,  selalu menggunakan perhitungan komersial yang berorientasi kepada keekonomian full cycle (yaitu metode penghitungan keekonomian mulai dari awal produksi hingga cadangan migas yang mendekati habis).

Dan secara umum, setelah melewati titik tertinggi dari proses eksplorasi itu, serta saat semua dana untuk mencari cadangan yang dikategorikan sebagai biaya unrecover cost prior period tertutupi dan biaya operasi untuk pengembangan telah dikembalikan, maka selanjutnya biaya operasi akan menurut. Untuk itu, cost recovery pada tahun ke-9 dan ke-20 trennya akan menurun. Namun periode-periode tertentu polanya berbeda, ada saat di mana produksi tinggi, cost recovery rendah atau dua-duanya sama-sama rendah.

Jadi, cost recovery itu tidak memiliki hubungan linier dengan produksi, apalagi lifting. Tidak serta merta saat dana ditambahkan untuk eksplorasi atau operasional perminyakan dan investasi akan meningkatkan produksi pada tahun yang sama. Karena akan ada jeda waktu antara eksplorasi,  produksi dan bahkan sampai ke lifting.

Tentu saja saat ini semua pihak mesti melihat secara komprehensif. Jangan mencampuradukkan antara konsep cost recovery dan masalah kontrol. Soalnya, terkadang sebenarnya yang menjadi masalah adalah bagaimana implementasi, dan mekanisme kontrol serta pengawasan atas penggunaan dana tersebut, tetapi yang disalahkan malah konsep cost recovery-nya.

Pelaporan keuangan perusahaan migas ini tetap harus mengacu pada PSAK 64 Aktivitas Eksplorasi dan Evaluasi pada Pertambangan Sumber Daya Mineral. PSAK ini mengadopsi seluruh pengaturan dalam IFRS 6 Exploration for and Evaluation of Mineral Resources per 1 Januari 2009. “Namun ada laporan untuk kepentingan tertentu yang disusun berdasarkan standar yang berbeda,” ujar Aucky Pratama, Direktur Teknis IAI. *DED/TOM

 

Referensi

(Tulisan ini telah terbit di Majalah Akuntan Indonesia Edisi Bulan Januari – Pebruari 2015)

http://www.iaiglobal.or.id/v02/berita/detail.php?catid=&id=793