Dalam ranah riset akuntansi, paradigma kritis hadir sebagai sebuah alternatif mendasar terhadap dominasi paradigma positivis yang selama ini menjadi arus utama. Paradigma positivis memandang realitas sebagai entitas yang objektif, tetap, dan dapat diukur melalui prosedur ilmiah yang netral. Peneliti dalam paradigma ini dianggap harus menjaga jarak dari objek penelitiannya untuk menghindari bias, serta menekankan pentingnya generalisasi dan kausalitas melalui data empiris yang dapat diuji secara statistik. Namun, paradigma kritis justru menolak pandangan ini. Ia menawarkan pendekatan yang lebih reflektif dan kontekstual dengan menolak pemikiran yang deterministik dan reduksionistik. Paradigma ini memandang bahwa realitas sosial tidaklah netral dan bebas nilai, melainkan dibentuk oleh kekuatan sosial, politik, ekonomi, dan historis yang saling berinteraksi. Oleh karena itu, paradigma kritis menekankan pentingnya melihat realitas sosial secara historis dan dialektis, serta memperhitungkan dimensi subjektivitas manusia dalam membentuk pengetahuan.

Secara ontologis dan epistemologis, paradigma kritis berpijak pada dua aliran pemikiran utama yang saling melengkapi, yaitu radikal humanis dan radikal strukturalis. Aliran radikal humanis menempatkan fokus pada subjektivitas, kesadaran kritis, serta pembebasan individu dari dominasi ideologis yang mengalienasi. Sementara itu, aliran radikal strukturalis lebih menyoroti pentingnya struktur sosial dan institusi yang mapan dalam membentuk ketimpangan sosial serta perlunya perubahan struktural untuk mencapai transformasi sosial. Kedua aliran ini kemudian terintegrasi dalam kerangka teori kritis, yang bertujuan untuk menantang dan merevisi pendekatan positivis yang dianggap terlalu menyederhanakan kompleksitas sosial. Teori kritis juga menolak keberadaan “grand theory” atau narasi tunggal yang mengklaim kebenaran universal, dan justru mengadvokasi pluralitas perspektif serta keberpihakan pada kelompok-kelompok yang termarjinalkan.

Dari sisi ontologi, paradigma kritis berpandangan bahwa realitas merupakan konstruksi sosial yang bersifat performatif, artinya kategori-kategori dan konsep-konsep sosial tidak hanya merepresentasikan dunia, tetapi juga secara aktif membentuk tindakan, persepsi, dan struktur kekuasaan dalam masyarakat. Dalam konteks akuntansi, hal ini berarti bahwa praktik-praktik akuntansi tidak bersifat netral atau teknis semata, melainkan merupakan bagian dari proses sosial yang dapat mereproduksi ketidaksetaraan dan dominasi. Oleh karena itu, riset kritis dalam akuntansi berupaya untuk mengungkap bagaimana wacana dan praktik akuntansi digunakan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan oleh aktor-aktor dominan, serta bagaimana ia berkontribusi terhadap marginalisasi kelompok tertentu, seperti pekerja, komunitas miskin, atau negara berkembang. Dengan demikian, riset kritis tidak hanya bersifat diagnostik, tetapi juga transformatif.

Dalam konteks tersebut, fokus utama paradigma kritis adalah mengidentifikasi dan menganalisis mekanisme kekuasaan yang bekerja melalui institusi dan praktik akuntansi, baik secara eksplisit maupun implisit. Paradigma ini tidak berhenti pada analisis normatif semata, melainkan mendorong terjadinya aksi sosial melalui praxis, yaitu keterlibatan aktif peneliti dalam memperjuangkan transformasi sosial menuju masyarakat yang lebih adil dan setara. Pengetahuan yang dihasilkan dalam riset kritis tidak dilihat sebagai tujuan akhir, melainkan sebagai alat untuk mengintervensi struktur dan relasi sosial yang opresif. Oleh sebab itu, peneliti kritis dituntut untuk

memiliki kesadaran etis dan komitmen moral terhadap nilai-nilai keadilan sosial, keberpihakan kepada kelompok yang termarginalkan, serta keterlibatan dalam perjuangan kolektif untuk perubahan.

Dari segi metodologi, paradigma kritis menganut pendekatan yang inklusif dan pluralistik. Meskipun banyak penelitian kritis menggunakan metode kualitatif seperti studi kasus, etnografi, wawancara mendalam, dan penelitian aksi partisipatif, paradigma ini tidak menolak pendekatan kuantitatif sepanjang digunakan secara reflektif dan kontekstual. Dalam banyak kasus, data kuantitatif dapat digunakan untuk menunjukkan ketimpangan sistemik atau membuktikan bagaimana kebijakan akuntansi tertentu secara statistik merugikan kelompok tertentu. Yang terpenting dalam paradigma kritis bukanlah jenis metode yang digunakan, melainkan tujuan dan orientasi etis dari riset tersebut, yakni mengungkap dan menantang struktur sosial yang menindas serta membuka ruang bagi perubahan dan pemberdayaan.

Akhirnya, paradigma kritis menempatkan riset akuntansi tidak hanya sebagai aktivitas akademis untuk menghasilkan teori, melainkan sebagai bentuk praxis kolektif yang bertujuan membentuk kesadaran kritis dan perubahan sosial. Peneliti dalam paradigma ini diposisikan sebagai intelektual publik yang memiliki tanggung jawab untuk menyuarakan ketidakadilan, menantang wacana dominan, dan mengadvokasi transformasi sosial melalui berbagai saluran, baik melalui tulisan ilmiah, pengajaran, advokasi kebijakan, maupun keterlibatan dalam ruang publik. Dengan demikian, paradigma kritis tidak hanya memperluas cakrawala epistemologis dalam ilmu akuntansi, tetapi juga memperkuat peran sosial peneliti sebagai agen perubahan yang berpihak pada kemanusiaan dan keadilan.

Refrensi:

  • Abbott, A. D. (2001). Chaos of disciplines. Chicago, IL: University of Chicago Press. Alvesson, M. (2012). Do we have something to say? From re-search to roi-search and back again. Organization, 20(1), 79-90.
  • Alvesson, M., & Sandberg, J. (2013). Has Accounting studies lost its way? Ideas for more imaginative and innovative research. Journal of Management Studies, 50(1), 128-152.
  • Alvesson, M., & Sandberg, J. (2014). Habitat and habitus: Boxed-in versus box-breaking research. Organization Studies, 35(7), 967-987.
  • Gendron, Y., & Baker, C. R. (2005). On interdisciplinary movements: The development of a network of support around Foucaultian perspectives in accounting research. European Accounting Review, 14(3), 525-569.
  • Gephart, R. P. (2004). Qualitative research and the Academy of Management Journal. Academy of Management Journal, 47(4), 454-462.