Auditing dengan Keyakinan? Di Luar Perspektif Angka (2 dari 4)
Dari dulu audit selalu dikaitkan dengan etika, dan etika moral selalu dikaitkan dengan agama. Namun mengapa tidak pernah dikaitkan audit dengan agama? Everett et al. (2015) menyebut bahwa audit tidak pernah sekuler, memperhatikan sebuah peningkatan yang drastic antara etika profesi akuntansi dengan agama, terutama di negara-negara berkembang dan sedang fokus pada industrialisasi. Di mana masyarakat secara luas menganggap bahwa sekularisasi semakin memisahkan keyakinan dengan dunia professional, ternyata ide dan struktur agamais semakin terikat dan memadu dalam konteks-konteks profesional dan organisasional, terutama audit.
Sering dikaitkan dengan tokoh-tokoh agamais seperti pendeta, confessor, dan pengawas, yang semakin memperjelas dan menegaskan peran-peran para auditor dalam menjaga standar moral dan menjaga kepercayaan masyarakat. Oleh karena itu, peran auditor tidak hanya mengandung kemampuan secara teknis, namun memiliki pertanggungjawaban yang bersifat religius dan berdasarkan keyakinan. Menganut perspektif teologi ekonomis, praktik-praktik tersebut yang didasarkan atas konsep-konsep ekonomis sebenarnya mencerminkan praktik religius seperti nilai Calvinist terkait individualisme dan kesederhanaan mencerminkan independensi dan objektivitas dalam mengaudit, sedangkan nilai hierarki dalam Katolik menggambarkan kepatuhan perusahaan terhadap kode, standar dan regulasi.
Mendalami peran auditor dari berbagai keyakinan, dari perspektif Kristen dan Katolik sudah lama ada sejak pecahnya Kekristenan pada tahun 1054 menjadi Ortodoks dan Kekristenan Barat (Mutch, 2024). Struktur hierarkis yang digunakan oleh institute agamais seperti paroki Katolik dan sistem tata kelola yang bersifat desentralisasi sudah lama memengaruhi kerangka akuntabilitas. Terdapat juga konsep financial stewardship untuk memastikan akuntabilitas itu tetap terjaga dengan penggunaan Massari oleh gereja Katolik dalam mencatat secara sistematis berbagai transaksi, sehingga terdapat juga transparansi dan disiplin. Meski serupa dalam berbagai aliran, masih terdapat beberapa perbedaan, khususnya seperti antara gereja Inggris dengan Skotlandia. Sistem paroki yang dianut di Inggris memiliki akuntabilitas personal, sehingga dapat bervariasi antar berbagai paroki di berbeda daerah. Tidak seperti sistem yang dianut oleh Skotlandia yang memiliki tata aturan dan kerangka yang sistematis dan telah ditentukan sebelumnya untuk menjaga konsistensi dan wawasan dalam mengendali dan mengatur sumber daya yang dimiliki.
Ini menunjukkan keterkaitan yang mendalami di antara praktik auditor dengan Kekristenan sebagai sebuah keyakinan. Tata kelola yang sistematis dan pencatatan transaksi yang akuntabel dan transparan berasal dari praktik-praktik yang sudah dari dulu dipraktikkan oleh berbagai paroki.
References:
- Everett, J., Friesen, C., Neu, D., & Rahaman, A. S. (2016). We have never been secular: religious identities, duties, and ethics in audit practice. Journal of Business Ethics, 153(4), 1121–1142. https://doi.org/10.1007/s10551-016-3426-x
- Mutch, A. (2024). ‘Accountable creatures’: Christianity and accounting. In Edward Elgar Publishing eBooks (pp. 239–251). https://doi.org/10.4337/9781803922003.00030
Comments :