Sejak awal diperlukan pertanggungjawaban, audit selalu merupakan salah satu caranya untuk mendapatkan pertanggungjawaban itu. Audit sudah menjadi sesuatu yang dirancangkan setelah lamanya proses Trial and Error. Dari masing-masing Big 4, terdapat definisi yang berbeda atas audit. Menurut PwC, audit merupakan pemeriksanaan dari laporan keuangan perusahaan oleh seseorang yang independen. Dari Deloitte, audit menggambarkan prosedur dari awal sampai akhir tahun berdasarkan informasi yang disampaikan dari laporan keuangan sehingga menjadi dasar untuk membuat rekomendasi. Untuk KPMG, audit adalah proses memeriksa perusahaan dan memastikan informasi yang disampaikan tepat dan adil terhadap posisi keuangan perusahaan. EY kemudian menyatakan audit merupakan proses untuk menyediakan opini yang berkualitas, independent, dan objektif yang dapat membawa kepercayaan dan keyakinan pada pasar. Di atas terdapat berbagai definisi yang berbeda, namun belum dilihat dari kacamata atau perspektif lainnya.

Audit sangat diikatkan dengan nilai moral dan etika. Terjadi beberapa fenomena seperti familiaritas, di mana setelah mengaudit suatu klien setelah beberapa tahun secara berturut-turut, maka berkurang objektivitas dan netralitas dari auditor, sehingga menyebabkan audit menjadi tidak objektif (Bamber & Iyer, 2007). Terdapat juga kendala di mana auditor berusaha untuk menyampaikan opini yang objektif dan akurat sesuai dengan data dan informasi yang disediakan oleh klien, namun apabila opini tersebut tidak sesuai dengan keinginan klien, maka terdapat kemungkinan bahwa klien akan ganti dengan auditor lainnya sehingga menjadi kerugian untuk auditor. Ini menyebabkan sebuah conflict of interest, namun sejauh ini memang belum dieksplorasi lebih lanjut oleh para akademisi, meskipun sudah lama menjadi topik pembicaraan antara para auditor yang berpraktek.

Fenomena ini mencerminkan konflik mendasar dalam profesi audit, di mana integritas dan kepercayaan publik menjadi inti dari pekerjaan auditor, namun tekanan ekonomi atau hubungan jangka panjang dengan klien dapat mengikis objektivitas. Dari perspektif teori etika, fenomena ini sering dikaitkan dengan teori virtue ethics (Hooft, 2006), yang menekankan pentingnya karakter dan kebajikan profesional dalam menghadapi tekanan tersebut. Selain itu, pendekatan deontological ethics (Staveren, 2007) juga relevan, menyoroti bahwa auditor harus mematuhi prinsip moral dan aturan profesi meskipun ada konsekuensi negatif, seperti kehilangan klien.

Referensi:

  • Bamber, E. M., & Iyer, V. M. (2007). Auditors’ Identification with Their Clients and Its Effect on Auditors’ Objectivity. Auditing a Journal of Practice & Theory, 26(2), 1–24. https://doi.org/10.2308/aud.2007.26.2.1
  • Deloitte. (2023, November 6). What is Audit? https://www.deloitte.com/lk/en/services/audit/about/what-is-audit.html
  • EY. (n.d.). Audit. https://www.ey.com/en_gl/services/audit
  • KPMG. (n.d.). Audit. Retrieved December 1, 2024, from https://www.kpmgcareers.co.uk/graduate/audit/
  • PwC. (n.d.). What is an audit? https://www.pwc.com/m1/en/services/assurance/what-is-an-audit.html
  • Van Hooft, S. (2014). Understanding virtue ethics. In Routledge eBooks. https://doi.org/10.4324/9781315712130
  • Van Staveren, I. (2007). Beyond utilitarianism and deontology: Ethics in Economics. Review of Political Economy, 19(1), 21–35. https://doi.org/10.1080/09538250601080776