Setelah membahas mengenai sustainable banking secara umum dan peraturan yang menyertainya yaitu POJK 51 tahun 2017, pada artikel ini akan dibahas mengenai framework atau standard lainnya yang berhubungan dengan keberlanjutan.

Jika POJK 51 tahun 2017 hanya khusus untuk bank di Indonesia, bank-bank yang ada di ASEAN juga memiliki peraturan terkait dengan keberlanjutannya masing-masing. Misalnya jika melihat pada negara maju yaitu Singapura, pemerintah mereka bahkan lebih memerhatikan mengenai keberlanjutan. Bank didorong untuk dapat menerbitkan produk hijau atau yang berkaitan dengan produk yang mendukung keberlanjutan.

Monetary Authority of Singapore sebagai bank sentral dan juga pengawas Lembaga keuangan yang ada di Singapura, memberikan hibah berupa penggantian beban penerbitan produk hijau seperti green bond, Sustainability Linked Loans, dan produk lainnya yang berhubungan dengan produk ramah lingkungan. Bank di Singapura bisa memberikan rincian biaya/beban untuk penerbitan produk yang berhubungan dengan  keberlanjutan dan melakukan reimburse atas biaya/beban tersebut.

Sustainability Linked Loans adalah produk pinjaman yang disediakan untuk semua peminjam yang berhubungan dengan bisnis yang menitikberatkan pada kinerja keberlanjutan perusahaan dan ESG Score perusahaan. Karena untuk mendapatkan pinjaman ini harus berkaitan dengan ESG rating, maka beberapa bank di Singapura menawarkan jasa konsultasi dengan mereka terkait dengan ESG rating. Selain itu juga, mereka menawarkan untuk memformulasikan tiga sampai lima KPI yang berkaitan dengan KPI keberlanjutan dan peminjam setuju terkait dengan target tersebut yang harus dicapai selama waktu peminjaman.

Cukup menarik bukan? Bank bukan hanya menjadi tempat meminjam uang, namun bank juga bisa menjadi konsultan yang membantu nasabah agar tetap sustain.  Semoga ini juga bisa dicontoh oleh pemerintah dan bank yang ada di Indonesia.

Reference: