Perkembangan teknologi finansial (financial technology/fintech) telah merevolusi sistem keuangan global, menghadirkan efisiensi, inklusivitas, dan kemudahan akses pembiayaan bagi sektor-sektor yang sebelumnya sulit dijangkau oleh lembaga keuangan konvensional. Namun, kemajuan ini juga membuka celah baru bagi risiko penyimpangan dan manipulasi laporan keuangan. Kasus Crowde, salah satu startup fintech agritech di Indonesia yang tersandung dugaan pinjaman fiktif dan pelaporan keuangan menyesatkan, menjadi contoh nyata bahwa transformasi digital tidak serta-merta menjamin transparansi dan akuntabilitas. Kejadian ini memunculkan pertanyaan kritis: sejauh mana sistem akuntansi digital dan pengawasan teknologi dapat menjamin keandalan informasi keuangan di era ekonomi digital?

Crowde, yang semula dikenal sebagai platform peer-to-peer lending bagi petani, dilaporkan melakukan praktik pelaporan fiktif dengan menciptakan data pinjaman yang tidak nyata untuk menarik dana dari mitra perbankan wholesale. Modus ini mengakibatkan kerugian keuangan besar dan menimbulkan keraguan terhadap integritas manajemen serta efektivitas sistem pengendalian internal perusahaan. Dalam konteks akuntansi, tindakan tersebut merupakan pelanggaran terhadap prinsip dasar reliabilitas (reliability) dan kejujuran penyajian (faithful representation) sebagaimana diatur dalam Kerangka Konseptual Pelaporan Keuangan. Manipulasi data keuangan berbasis teknologi juga menunjukkan lemahnya pengawasan terhadap proses digital bookkeeping, di mana verifikasi data transaksi bergantung sepenuhnya pada sistem internal tanpa audit silang independen.

Fenomena ini memperlihatkan paradoks dalam penerapan akuntansi digital. Di satu sisi, digitalisasi pelaporan keuangan di sektor fintech menjanjikan efisiensi dan akurasi tinggi melalui otomatisasi transaksi, integrasi data, serta penggunaan machine learning untuk analisis risiko kredit. Namun, di sisi lain, ketergantungan berlebihan terhadap sistem otomatis tanpa pengawasan manusia (human oversight) dapat menimbulkan risiko moral dan manipulasi algoritmik. Dalam kasus Crowde, tidak adanya validasi independen terhadap data pinjaman dan lemahnya fungsi audit internal memungkinkan penyalahgunaan teknologi untuk menutupi aktivitas yang tidak sesuai dengan fakta ekonomi. Hal ini menunjukkan bahwa inovasi akuntansi berbasis digital tidak cukup hanya mengandalkan keandalan sistem, tetapi juga memerlukan kerangka tata kelola yang kuat serta integritas personal para pelaku bisnis.

Dari perspektif audit forensik, kasus Crowde menyoroti pentingnya penerapan digital forensic auditing, yakni pendekatan audit yang menggunakan teknik analisis data digital untuk mendeteksi anomali transaksi, pola manipulasi, dan rekayasa laporan keuangan. Penerapan continuous monitoring dan AI-based anomaly detection dapat membantu auditor mendeteksi aktivitas abnormal secara real-time, terutama pada platform fintech dengan volume transaksi tinggi. Namun, efektivitas pendekatan ini sangat tergantung pada kualitas data dan keterbukaan manajemen dalam memberikan akses terhadap sistem informasi. Ketika perusahaan fintech menguasai penuh infrastruktur datanya tanpa pengawasan independen, transparansi menjadi ilusi, dan pelaporan keuangan berisiko menjadi sarana legitimasi, bukan akuntabilitas.

Dalam konteks regulasi nasional, kasus Crowde menjadi momentum penting bagi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Kementerian Keuangan RI untuk memperkuat kerangka pengawasan terhadap fintech dan pelaporan digital. Regulasi seperti POJK No. 10/POJK.05/2022 tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi menekankan pentingnya audit eksternal dan pengungkapan laporan keuangan secara berkala. Namun, implementasi di lapangan masih menghadapi kendala, terutama terkait keterbatasan auditor dalam memahami arsitektur teknologi digital dan akses ke sistem data internal perusahaan. Diperlukan integrasi antara keahlian akuntansi, teknologi informasi, dan forensik digital agar proses audit di sektor fintech dapat berjalan efektif dan adaptif terhadap model bisnis berbasis data.

Kasus Crowde juga memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya etika profesi akuntan di tengah revolusi teknologi keuangan. Teknologi hanyalah alat; kejujuran dan tanggung jawab manusia tetap menjadi pilar utama dalam menjaga integritas laporan keuangan. Sebagaimana ditegaskan oleh International Ethics Standards Board for Accountants, prinsip integrity, objectivity, and professional competence harus menjadi dasar bagi setiap proses pelaporan dan audit, terlepas dari bentuk sistem yang digunakan. Ketika integritas etis melemah, bahkan teknologi paling canggih sekalipun tidak dapat mencegah penyimpangan.

Dengan demikian, kasus Crowde menunjukkan bahwa digitalisasi akuntansi tanpa tata kelola dan etika yang kuat dapat menciptakan ilusi transparansi. Transformasi keuangan digital harus diimbangi dengan peningkatan kapasitas pengawasan, audit forensik digital, dan pendidikan etika akuntansi bagi pelaku industri. Teknologi memang mempercepat proses, tetapi hanya integritas manusia yang dapat memastikan bahwa transparansi benar-benar terwujud dalam praktik pelaporan keuangan modern.

Referensi

  • Tempo.co. (2025). Kasus Crowde dan Dugaan Pinjaman Fiktif di Sektor Fintech Agritech. Diakses dari https://www.tempo.co.
  • PwC. (2024). The Future of Fintech Auditing: Balancing Automation and Accountability. PwC Global Report.
  • Association of Certified Fraud Examiners (ACFE). (2024). 2024 Report to the Nations on Occupational Fraud and Abuse. Austin: ACFE.
  • International Accounting Standards Board (IASB). (2018). Conceptual Framework for Financial Reporting. London: IFRS Foundation.
  • Otoritas Jasa Keuangan (OJK). (2023). POJK No. 10/POJK.05/2022 tentang Penyelenggaraan Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi. Jakarta: OJK.
  • International Ethics Standards Board for Accountants (IESBA). (2024). Handbook of the International Code of Ethics for Professional Accountants (Including International Independence Standards). IFAC.