Analisis Kebijakan CoreTax: Penguatan Administrasi Pajak dalam Era Pemerintahan Elektronik
Transformasi digital dalam sistem perpajakan global telah mendorong banyak negara, termasuk Indonesia, untuk membangun infrastruktur teknologi yang mampu meningkatkan efisiensi, transparansi, dan kepatuhan wajib pajak. Salah satu inisiatif strategis yang menandai babak baru reformasi perpajakan nasional adalah penerapan CoreTax Administration System (CoreTax System) oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Sistem ini merupakan bagian dari agenda besar Reformasi Perpajakan Jilid III yang difokuskan pada modernisasi proses administrasi pajak berbasis teknologi informasi terintegrasi. Melalui implementasi CoreTax, pemerintah bertujuan menciptakan layanan perpajakan yang lebih adaptif terhadap era pemerintahan elektronik (e-government), sekaligus memperkuat fondasi pengawasan dan kepatuhan fiskal secara nasional.
CoreTax adalah sistem informasi terpadu yang dirancang untuk menggantikan berbagai aplikasi pajak lama yang sebelumnya berjalan secara terpisah. Melalui sistem ini, seluruh proses mulai dari pendaftaran, pelaporan, pembayaran, hingga pemeriksaan pajak dikelola dalam satu basis data terintegrasi yang dapat diakses secara real-time. Pendekatan ini memungkinkan DJP melakukan pengawasan yang lebih efektif, mengurangi redundansi data, serta meningkatkan akurasi dalam analisis risiko dan deteksi ketidakpatuhan. Selain itu, CoreTax didesain dengan fitur analitik canggih berbasis Artificial Intelligence (AI) dan Big Data Analytics yang mampu mengidentifikasi pola perilaku wajib pajak, memperkirakan potensi penerimaan, dan mendukung kebijakan pajak berbasis bukti (evidence-based policy).
Dari perspektif kebijakan publik, penerapan CoreTax mencerminkan pergeseran paradigma dari administrasi pajak manual menuju sistem digital terintegrasi, di mana efisiensi birokrasi menjadi kunci peningkatan kinerja fiskal. Menurut OECD, digitalisasi administrasi pajak berkontribusi signifikan dalam memperluas basis pajak, menekan tax gap, dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi fiskal. Di Indonesia, CoreTax diharapkan menjadi instrumen untuk mengatasi tantangan klasik seperti keterlambatan pelaporan, kebocoran penerimaan, dan keterbatasan data lintas instansi. Dengan integrasi data antara DJP, Bea Cukai, dan Direktorat Jenderal Anggaran, pemerintah dapat memperoleh gambaran fiskal yang lebih menyeluruh dan akurat, mendukung prinsip whole-of-government approach dalam pengelolaan pajak nasional.
Namun demikian, pelaksanaan CoreTax tidak terlepas dari tantangan struktural dan teknis. Pertama, proses migrasi data dari sistem lama ke platform baru memerlukan validasi ketat agar tidak terjadi kehilangan informasi atau inkonsistensi data. Kedua, diperlukan kesiapan sumber daya manusia, baik di internal DJP maupun di kalangan wajib pajak, untuk memahami mekanisme baru berbasis digital. Ketiga, isu keamanan siber dan privasi data menjadi perhatian utama, mengingat sistem ini mengelola informasi keuangan yang bersifat sangat sensitif. Sebagaimana disoroti oleh International Monetary Fund, keamanan dan integritas data merupakan prasyarat keberhasilan sistem administrasi pajak modern; kegagalan dalam aspek ini dapat menurunkan tingkat kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Dari sisi tata kelola, keberhasilan implementasi CoreTax sangat bergantung pada sinkronisasi kebijakan dan komitmen kelembagaan. Diperlukan koordinasi erat antara Kementerian Keuangan, DJP, serta Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk memastikan bahwa infrastruktur
digital, standar keamanan, dan regulasi data berjalan sejalan. Selain itu, penguatan aspek regulatif melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang tata kelola data pajak digital menjadi penting untuk memberikan landasan hukum yang jelas terhadap penggunaan teknologi dalam administrasi perpajakan. Kolaborasi dengan lembaga internasional seperti OECD dan World Bank juga berperan penting dalam memberikan panduan teknis dan praktik terbaik (best practices) dari negara-negara yang lebih dahulu mengimplementasikan sistem serupa, seperti Australia, Korea Selatan, dan Singapura.
Dalam konteks pembangunan ekonomi nasional, CoreTax berpotensi menjadi katalisator peningkatan tax ratio dan perluasan basis pajak melalui peningkatan transparansi dan penegakan hukum yang lebih efektif. Dengan sistem yang berbasis data dan berorientasi pada wajib pajak, DJP dapat merancang kebijakan yang lebih akurat dan responsif terhadap dinamika ekonomi digital. Hal ini selaras dengan visi Indonesia untuk membangun pemerintahan digital 2025 sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE). Dengan demikian, CoreTax bukan hanya inovasi administratif, melainkan juga instrumen strategis dalam memperkuat kemandirian fiskal, mendorong transparansi publik, dan memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap sistem perpajakan nasional.
Referensi
- Direktorat Jenderal Pajak (DJP). (2024). Laporan Perkembangan Implementasi CoreTax Administration System. Jakarta: Kementerian Keuangan Republik Indonesia.
- Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2023). Reformasi Perpajakan Jilid III: Modernisasi Administrasi Pajak Berbasis Teknologi Informasi. Jakarta: Kemenkeu Press.
- Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2024). Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Kelola Data dan Digitalisasi Administrasi Pajak. Jakarta: Kemenkeu.
- OECD. (2023). Tax Administration 3.0: The Digital Transformation of Tax Administration. Paris: OECD Publishing.
- World Bank. (2024). Modernizing Tax Administration in Emerging Economies: Lessons from Digital Reform. Washington, D.C.: World Bank Group.
- International Monetary Fund (IMF). (2023). Cybersecurity and Data Governance in Tax Administration. IMF Technical Note and Manual.
- Republik Indonesia. (2018). Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE). Jakarta: Sekretariat Negara.
Comments :