Laporan terbaru dari EY mengungkap bahwa perusahaan yang mengintegrasikan keberlanjutan ke dalam strategi inti mereka memiliki tingkat kepercayaan terhadap prospek bisnis dalam satu tahun ke depan yang 40% lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan yang masih menerapkan pendekatan terpisah. Edisi kelima dari EY Long-Term Value and Corporate Governance Survey menyoroti tekanan yang semakin besar terhadap perusahaan untuk memprioritaskan keberlanjutan. Laporan ini juga menekankan pentingnya strategi keberlanjutan yang terintegrasi di seluruh organisasi dan mampu menciptakan nilai bisnis yang nyata.

Julie Linn Teigland, selaku EY EMEIA Area Managing Partner dan EY Global Vice Chair – Alliances & Ecosystems, menyatakan bahwa dengan menempatkan keberlanjutan di pusat pengambilan keputusan dan memanfaatkan teknologi terkini untuk mendorong perubahan, perusahaan tidak hanya meningkatkan ketahanan bisnis, tetapi juga memposisikan diri mereka untuk meraih kesuksesan jangka panjang. Ia menekankan bahwa keberlanjutan harus menjadi inti dari strategi bisnis saat ini dan di masa mendatang.

Laporan ini juga menunjukkan bahwa perusahaan menghadapi tuntutan yang semakin tinggi dari para investor dan kelompok aktivis. Sebanyak 91% perusahaan mengaku mendapat tekanan dari investor untuk meningkatkan upaya keberlanjutan mereka, sementara 78% menghadapi tekanan serupa dari aktivis. Risiko terhadap reputasi menjadi perhatian signifikan, di mana 39% responden mengaku telah menerima kecaman dari media karena upaya keberlanjutan yang dinilai tidak memadai. Namun, angka tersebut turun drastis menjadi hanya 6% pada perusahaan yang telah mengintegrasikan strategi keberlanjutan secara menyeluruh.

Meskipun demikian, sebagian besar organisasi masih menjalankan strategi keberlanjutan secara terpisah. EY mengidentifikasi kelompok pelopor yang disebut Sustainability Integrators, yaitu perusahaan yang berhasil menyatukan keberlanjutan dalam seluruh operasional mereka. Perusahaan dalam kelompok ini dilaporkan memiliki reputasi merek yang lebih kuat, proses perekrutan dan retensi karyawan yang lebih baik, serta dampak positif yang nyata terhadap lingkungan sekitar. Dewan direksi mereka juga dinilai 1,5 kali lebih efektif dalam menangani isu keberlanjutan dibandingkan dengan perusahaan lainnya. Namun, hanya 27% perusahaan yang tergolong dalam kategori ini, sementara mayoritas (55%) masih memisahkan strategi keberlanjutan dari strategi bisnis utama, atau bahkan belum memiliki strategi keberlanjutan sama sekali.

Dalam kondisi tekanan ekonomi atau kebutuhan penghematan, inisiatif keberlanjutan masih lebih rentan untuk dipangkas. Sebanyak 57% perusahaan menyatakan bahwa mereka akan lebih mungkin memangkas program keberlanjutan ketimbang inisiatif bisnis lainnya. Bahkan, 39% perusahaan masih menganggap keberlanjutan sebagai prioritas yang lebih rendah dibandingkan dengan tujuan komersial. Sebaliknya, hanya 2% dari Sustainability Integrators yang memiliki pandangan demikian, dan hanya 4% dari kelompok tersebut yang akan menghentikan inisiatif keberlanjutan terlebih dahulu bila kondisi bisnis memburuk. Selain itu, 94% dari perusahaan dalam kelompok integrator ini menyatakan bahwa dewan direksi mereka efektif dalam menyetujui

pengeluaran modal untuk proyek-proyek keberlanjutan, dibandingkan hanya 28% dari perusahaan yang masih menerapkan pendekatan terpisah.

Andrew Hobbs, EY EMEIA Public Policy Leader, menyampaikan bahwa perusahaan harus segera bertindak untuk mengintegrasikan keberlanjutan atau berisiko tertinggal. Menurutnya, keberlanjutan harus dipandang bukan hanya sebagai tuntutan etika, tetapi juga sebagai sumber manfaat komersial yang nyata. Perusahaan perlu menyusun rencana investasi yang serius dan berani mengambil langkah besar agar dapat memperkuat ketahanan sekaligus meningkatkan kepercayaan diri untuk meraih kesuksesan.

Untuk mendukung transisi menuju organisasi yang terintegrasi secara keberlanjutan, EY merekomendasikan lima langkah utama. Pertama, membangun kepemimpinan yang terpadu dalam komitmen keberlanjutan. Kedua, menciptakan budaya perusahaan yang menjadikan keberlanjutan sebagai tanggung jawab bersama. Ketiga, memberikan edukasi lintas fungsi mengenai keuntungan komersial dari keberlanjutan. Keempat, melakukan investasi proaktif terhadap inisiatif keberlanjutan agar integrasi dapat berjalan efektif. Dan kelima, memanfaatkan teknologi untuk mendukung implementasi strategi keberlanjutan yang menyatu dengan keseluruhan model bisnis.

 

Refrensi:

  • EY. 2025. “Sustainability-centric businesses more confident than siloed peers”. https://www.ey.com/en_gl/newsroom/2025/05/sustainability-centric-businesses-40-more-confident-than-siloed-peers