Implementasi Ekonomi Sirkular di Idonesia
Ekonomi sirkular berangkat dari gagasan bahwa model ekonomi linier “ambil‑pakai‑buang” tidak lagi memadai untuk mencapai pembangunan berkelanjutan jangka panjang. Alih‑alih menitikberatkan pada produksi dan konsumsi dengan berakhirnya siklus hidup produk secara prematur, ekonomi sirkular menekankan perpanjangan siklus hidup bahan dan produk melalui penerapan prinsip reduce, reuse, dan recycle. Dengan demikian, sumber daya alam dimanfaatkan seefisien mungkin seperti mengurangi limbah dan polusi, menjaga agar produk dan material tetap berada dalam siklus penggunaan, serta meregenerasi sistem alam.
Di Indonesia, ekonomi sirkular telah diadministrasikan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024, tepatnya pada Agenda Prioritas Nasional 1 (Memperkuat Ketahanan Ekonomi) dan Agenda 6 (Membangun Lingkungan Hidup, Meningkatkan Ketahanan Bencana, dan Perubahan Iklim). Pada Agenda 6, ekonomi sirkular ditempatkan di bawah payung Pembangunan Rendah Karbon (PRK), yang menjadikan tiga dari lima sektor PRK sebagai kunci implementasi prinsip sirkular. Integrasi ini memungkinkan pengurangan timbunan limbah, peningkatan penggunaan energi terbarukan, dan efisiensi proses industri agar lebih ramah lingkungan.
Berdasarkan laporan “Manfaat Ekonomi, Sosial dan Lingkungan Ekonomi Sirkular di Indonesia” (2021) yang dirilis oleh Kementerian PPN/Bappenas bersama UNDP dan Pemerintah Denmark, estimasi dampak ekonomi sirkular sangat signifikan: tambahan PDB antara Rp 593–638 triliun pada 2030, penciptaan 4,4 juta lapangan kerja hijau (75 % di antaranya perempuan), serta penurunan emisi CO₂ hingga 126 juta ton pada tahun yang sama. Selain itu, sektor prioritas diharap dapat mengurangi timbunan limbah sebesar 18–52 % dan menghemat penggunaan air hingga 6,3 miliar m³ pada 2030.
Kelima sektor prioritas penerapan ekonomi sirkular di Indonesia; makanan dan minuman; tekstil; konstruksi; grosir dan eceran (plastik); serta elektronik diharapkan berkontribusi hampir sepertiga PDB dan mempekerjakan lebih dari 43 juta orang pada 2019. Misalnya, di sektor makanan dan minuman (9,3 % PDB manufaktur), model sirkular dapat memanfaatkan limbah pangan menjadi kompos atau biogas, serta mengadopsi agrikultur regeneratif untuk meningkatkan keanekaragaman hayati ([LCDI Indonesia][1]). Pada sektor tekstil (4,2 juta pekerja), ekonomi sirkular mendorong model layanan fesyen (“fashion as a service”), mengurangi ketergantungan pada material virgin, dan menstabilkan biaya produksi.
Sektor konstruksi (10 % PDB) membutuhkan volume besar energi dan air, serta menghasilkan limbah padat yang berpotensi didaur ulang. Sementara itu, sektor plastik menargetkan pengelolaan sampah plastik laut hingga 70 % pada 2025. Forum Ekonomi Dunia memperkirakan pengurangan polusi plastik mendekati nol pada 2030 dapat menciptakan 150.000 pekerjaan dan investasi senilai USD 13,3 miliar antara 2025–2040. Di sektor elektronik (1,9 % PDB), formalisasi daur ulang dan pemugaran produk informal berpotensi menambah nilai ekonomi limbah hingga USD 11 miliar per tahun secara global.
Selain itu, kajian Food Loss and Waste (FLW) di Indonesia (2000–2019) oleh Bappenas, UK‑FCDO, WRI, dan Waste4Change mengungkap timbunan FLW 23–48 juta ton per tahun (115–184 kg/kapita), dengan kerugian ekonomi Rp 213–551 triliun per tahun (4–5 % PDB) dan emisi GRK total 1.702,9 Mega Ton CO₂‑e. Studi ini merekomendasikan lima strategi utama: perubahan perilaku, pembenahan sistem pangan, penguatan regulasi dan pendanaan, pemanfaatan FLW, serta pengembangan kajian dan pendataan terintegrasi—yang semuanya mendukung sinergi antara ekonomi sirkular dan pembangunan rendah karbon.
Refrensi:
- LCDI. 2025. Ekonomi Sirkular. https://lcdi-indonesia.id/ekonomi-sirkular
Comments :