MEWUJUDKAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN MELALUI INTEGRASI ETIKA DALAM IMPLEMENTASI SDGs
- Latar Belakang
Sustainable Development Goals (SDGs) yang dicanangkan PBB pada tahun 2015 merupakan agenda global untuk menciptakan pembangunan yang inklusif, berkeadilan, dan berkelanjutan pada tahun 2030 (United Nations, 2015). Namun, dalam pelaksanaannya, berbagai tantangan muncul akibat kurangnya integrasi nilai-nilai etika dalam proses pembangunan.
Pembangunan berkelanjutan tidak hanya membutuhkan kebijakan yang tepat dan teknologi canggih, tetapi juga landasan etika yang kuat (Sen, 2009). Tanpa prinsip-prinsip moral seperti keadilan, transparansi, dan tanggung jawab, upaya pencapaian SDGs berisiko menimbulkan ketimpangan sosial, eksploitasi sumber daya alam, dan praktik korupsi yang justru bertentangan dengan semangat SDGs itu sendiri.
- Permasalahan
2.1 Konflik antara Pertumbuhan Ekonomi dan Keberlanjutan Lingkungan
Salah satu tantangan utama dalam implementasi SDGs adalah ketegangan antara SDG 8 (Pertumbuhan Ekonomi) dan SDG 13 (Penanganan Perubahan Iklim). Banyak negara dan perusahaan masih mengutamakan pertumbuhan ekonomi jangka pendek dengan mengorbankan lingkungan, seperti eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya alam (Rockström et al., 2009).
2.2 Ketidakadilan Sosial dan Ekonomi
Meskipun SDGs bertujuan untuk mengurangi ketimpangan (SDG 10), dalam praktiknya, manfaat pembangunan seringkali tidak dirasakan secara merata. Kelompok marginal seperti masyarakat miskin, perempuan, dan masyarakat adat masih kesulitan mengakses pendidikan, kesehatan, dan lapangan kerja yang layak (Rawls, 1971; United Nations, 2023; World Bank, 2022). Studi terbaru menunjukkan bahwa kesenjangan struktural dan diskriminasi sistemik terus memperparah ketidakadilan, terutama di negara berkembang (UNDP, 2021). Selain itu, pandemi COVID-19 telah memperlebar ketimpangan ekonomi, dengan kelompok rentan mengalami pemulihan yang lebih lambat (Oxfam, 2023).
2.3 Korupsi dan Kurangnya Akuntabilitas
Transparansi dan akuntabilitas menjadi masalah serius dalam implementasi SDGs, terutama di negara berkembang. Dana yang seharusnya dialokasikan untuk program pengentasan kemiskinan (SDG 1) atau pembangunan infrastruktur (SDG 9) sering diselewengkan akibat korupsi (Transparency International, 2020).
- Solusi dan Pembahasan
3.1 Integrasi Etika dalam Kebijakan Pembangunan
Untuk mengatasi masalah di atas, nilai-nilai etika harus diintegrasikan ke dalam kebijakan pembangunan. Beberapa pendekatan yang dapat dilakukan:
- Penerapan Prinsip Keadilan (Justice): Memastikan bahwa pembangunan tidak hanya menguntungkan kelompok tertentu, tetapi juga masyarakat marginal (Sen, 2009).
- Transparansi dan Partisipasi Publik: Pemerintah harus melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan dan memastikan keterbukaan informasi (World Bank, 2018).
3.2 Peran Sektor Privat yang Bertanggung Jawab
Perusahaan harus mengadopsi prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG) dalam operasional mereka (Friede et al., 2015). Contoh konkret:
- Patagonia, sebuah perusahaan pakaian outdoor, mendonasikan 1% dari penjualannya untuk konservasi lingkungan (Chouinard, 2005).
- Unilever menerapkan praktik bisnis berkelanjutan dengan mengurangi limbah plastik dan mendukung petani kecil (Unilever, 2020).
3.3 Kolaborasi Global untuk Keberlanjutan
Pencapaian SDGs membutuhkan kerja sama global (SDG 17). Negara maju harus mendukung negara berkembang melalui transfer teknologi dan pendanaan yang adil (Sachs, 2015). Contoh:
- Norwegia mengalokasikan pendapatan dari minyak bumi untuk mengembangkan energi terbarukan (IEA, 2020).
- Program Green Climate Fund membantu negara-negara miskin beradaptasi dengan perubahan iklim (GCF, 2021).
- Kesimpulan
Pencapaian SDGs tidak hanya memerlukan kebijakan yang tepat dan teknologi canggih, tetapi juga komitmen kuat terhadap nilai-nilai etika. Tanpa keadilan, transparansi, dan tanggung jawab, pembangunan berkelanjutan hanya akan menjadi wacana semata. Oleh karena itu, semua pemangku kepentingan—pemerintah, sektor privat, masyarakat sipil, dan individu—harus bekerja sama untuk mewujudkan SDGs yang beretika dan inklusif.
Daftar Referensi
- Chouinard, Y. (2005). Let My People Go Surfing: The Education of a Reluctant Businessman. Penguin.
- Friede, G., Busch, T., & Bassen, A. (2015). ESG and financial performance: Aggregated evidence from 2000+ empirical studies. Journal of Sustainable Finance & Investment, 5(4), 210-233.
- Green Climate Fund (GCF). (2021). Annual Report 2021.
- International Energy Agency (IEA). (2020). Energy Policies of IEA Countries: Norway 2020 Review.
- Oxfam (2023). Survival of the Richest: How We Must Tax the Super-Rich Now to Fight Inequality. Oxfam Inequality Report 2023
- Rawls, J. (1971). A Theory of Justice. Harvard University Press.
- Rockström, J., et al. (2009). Planetary boundaries: Exploring the safe operating space for humanity. Nature, 461(7263), 472-475.
- Sachs, J. D. (2015). The Age of Sustainable Development. Columbia University Press.
- Sen, A. (2009). The Idea of Justice. Harvard University Press.
- Transparency International. (2020). Corruption Perceptions Index 2020.
- Unilever. (2020). Sustainable Living Report 2020.
- United Nations. (2015). Transforming Our World: The 2030 Agenda for Sustainable Development.
- United Nations (2023). The Sustainable Development Goals Report 2023. UN SDG Report 2023
- UNDP (2021). Trapped: High Inequality and Low Growth in Latin America and the Caribbean.
- World Bank. (2018). World Development Report 2018: Learning to Realize Education’s Promise.
- World Bank (2022). Poverty and Shared Prosperity 2022: Correcting Course. World Bank Report 2022.
Comments :