Pemilihan Paradigma pada Riset Akuntansi
Dalam riset akuntansi, pemilihan paradigma penelitian harus didasarkan pada pertanyaan penelitian, objek kajian, dan asumsi filosofis peneliti mengenai realitas (ontology), pengetahuan (epistemology), serta metode (methodology) yang tepat. Paradigma positivis menekankan realitas objektif yang dapat diukur dan diuji melalui data kuantitatif, sedangkan paradigma interpretif menitikberatkan makna subjektif yang dibentuk oleh aktor-aktor sosial dalam konteks spesifik. Paradigma kritis berfokus pada relasi kuasa dan upaya transformasi sosial, sedangkan postmodernis mempertanyakan narasi besar dan membongkar konstruk sosial. Dua paradigma yang relatif lebih jarang digunakan dalam akuntansi—religionis dan spiritualis—mengkaji dimensi keyakinan dan nilai-nilai transendental dalam praktik akuntansi. Memahami perbedaan dan kesesuaian tiap paradigma ini penting agar riset akuntansi tidak hanya valid secara metodologis, tetapi juga relevan kontekstual dan etis (Morgan & Smircich, 1980; Scapens, 1990).
Paradigma positivis dalam akuntansi berakar pada filsafat ilmu alam (natural science), menganggap fenomena akuntansi sebagai “fakta” yang berdiri sendiri dan dapat diukur secara kuantitatif. Peneliti positivis akan merumuskan hipotesis yang bisa diuji secara statistik, menggunakan data numerik seperti laporan keuangan, rasio, atau eksperimen terkontrol. Kelebihan pendekatan ini adalah kemampuannya menghasilkan generalisasi dan prediksi yang kuat serta meminimalkan bias subyektif. Namun, ia cenderung mengabaikan konteks sosial dan makna yang melekat pada praktik akuntansi, sehingga kurang cocok jika penelitian memerlukan pemahaman proses pembuatan makna atau interpretasi aktor di lapangan (Scapens, 1990; Gray, 2002).
Sebaliknya, paradigma interpretif memandang pengetahuan akuntansi sebagai konstruksi sosial yang terbentuk melalui interaksi manusia. Peneliti interpretif akan menggunakan metode kualitatif untuk memahami bagaimana aktor (manajer, auditor, pemangku kepentingan) memaknai angka, sistem, dan kebijakan akuntansi. Paradigma ini mengakui realitas bergantung pada perspektif individu dan menekankan pentingnya “thick description” agar konteks organisasi dan budaya tidak hilang. Riset interpretif cocok untuk mengungkap dinamika negosiasi makna dalam penerapan Standar Akuntansi Keuangan atau studi perubahan sistem ERP di perusahaan multinasional (Gioia & Pitre, 1990; Cunliffe, 2008).
Paradigma kritis diilhami oleh teori kritis Frankfurt School dan bertujuan tidak hanya memahami, tetapi juga mengubah kondisi tidak adil dalam praktik akuntansi. Peneliti kritis menginvestigasi bagaimana akuntansi bisa mereproduksi relasi kuasa dan berupaya memberdayakan pihak terpinggirkan. Metode penelitian sering bersifat diskursif, mengkritisi wacana dominan, dan mengkombinasikan analisis dokumen dengan wawancara yang menggali struktur kekuasaan. Riset kritis cocok untuk kajian corporate social responsibility (CSR) yang melihat julukan “greenwashing” atau studi dampak neoliberalisme terhadap akuntabilitas publik (Tinkler, 2015; Roberts, 1991).
Pendekatan postmodernis menolak narasi tunggal dan menjelajahi bagaimana praktik akuntansi dibangun oleh wacana, simbol, dan teks. Peneliti postmodernis sering mengadopsi metode dekonstruksi untuk membongkar asumsi-asumsi tersembunyi dalam standar dan laporan keuangan, serta mengungkap “kesunyian suara” (silenced voices) dalam data akuntansi. Ahli seperti Alvesson dan Deetz (2000) menekankan bahwa kebenaran bersifat relatif dan terfragmentasi, sehingga riset postmodernis dapat memanfaatkan analisis wacana kritis atau studi semiotik untuk mendalami cara angka
menciptakan realitas sosial. Pendekatan ini sangat tepat untuk penelitian yang ingin mengeksplorasi pluralitas makna dan ketidakstabilan identitas organisasi.
Dua paradigma yang mulai menarik perhatian dalam riset akuntansi adalah religionis dan spiritualis. Paradigma religionis memfokuskan pada bagaimana keyakinan agama atau nilai-nilai teologis membentuk praktik dan etika akuntansi; misalnya, akuntansi berbasis syariah di lembaga keuangan Islam, di mana prinsip keadilan dan bagi hasil menjadi tolok ukur kinerja (Dusuki & Abdullah, 2007; Hoque & Carroll, 2013). Sementara itu, paradigma spiritualis melihat pentingnya nilai-nilai transendental, makna hidup, dan kebajikan (virtues) dalam organisasi misalnya konsep “servant leadership” atau “corporate soul” yang menempatkan kesejahteraan karyawan dan tanggung jawab sosial sebagai inti akuntansi. Riset spiritualis dapat menggunakan metode naratif atau studi fenomenologi untuk memahami pengalaman batin aktor dalam praktik pelaporan dan audit (Fry, 2003; Pava, 2003).
Dalam memilih paradigma yang cocok, peneliti akuntansi harus merefleksikan tujuan penelitian, pertanyaan, dan karakteristik fenomena. Jika tujuannya mengukur hubungan variabel dalam skala besar, positivis lebih tepat; jika ingin memahami makna subjektif atau perubahan budaya organisasi, interpretif atau postmodernis lebih sesuai; jika fokus pada keadilan sosial dan transformasi, paradigma kritis ideal; sedangkan untuk meneliti dimensi nilai agama atau spiritual dalam praktik akuntansi, paradigme religionis dan spiritualis perlu dipakai. Penggabungan (mixed paradigm) juga dapat dilakukan asalkan konsisten secara filosofi, misalnya triangulasi data kuantitatif-interpretif untuk memperkaya validitas internal dan eksternal (Morgan & Smircich, 1980; Johnson & Onwuegbuzie, 2004).
Refrensi:
- Alvesson, M., & Deetz, S. (2000). Doing Critical Management Research. SAGE.
- Cunliffe, A. L. (2008). Orientations to Social Constructionism: Relationally Responsive Social Constructionism and Its Implications for Knowledge and Learning. Management Learning, 39(2), 123–139.
- Dusuki, A. W., & Abdullah, N. I. (2007). Maqasid al-Shari’ah, Maslahah and Corporate Social Responsibility. The American Journal of Islamic Social Sciences, 24(1), 25–45.
- Fry, L. W. (2003). Toward a Theory of Spiritual Leadership. The Leadership Quarterly, 14(6), 693–727.
- Gioia, D. A., & Pitre, E. (1990). Multiparadigm Perspectives on Theory Building. Academy of Management Review, 15(4), 584–602.
- Gray, R. (2002). The Social Accounting Project and Accounting Organizations and Society: Privileging Engagement, Imaginings, New Accountings and Pragmatism Over Critique?. Accounting, Organizations and Society, 27(7), 687–708.
- Hoque, Z., & Carroll, A. (2013). Accountability and Governance of Islamic Financial Institutions. Accounting and Business Research, 43(2), 163–172.
- Johnson, R. B., & Onwuegbuzie, A. J. (2004). Mixed Methods Research: A Research Paradigm Whose Time Has Come. Educational Researcher, 33(7), 14–26.
- Morgan, G., & Smircich, L. (1980). The Case for Qualitative Research. Academy of Management Review, 5(4), 491–500.
- Pava, M. L. (2003). Servant Leadership and Human Capital Development: The Case of Grants and Community Banks. Leadership & Organization Development Journal, 24(10), 622–631.
- Roberts, J. (1991). The Possibilities of Accountability. Accounting, Organizations and Society, 16(4), 355–368.
- Scapens, R. W. (1990). Researching Management Accounting Practice: The Role of Case Study Methods. The British Accounting Review, 22(3), 259–281.
- Tinkler, J. E. (2015). Feminist Poststructuralist Accounting Research. In C. S. Chapman, D. J. Cooper, & P. Miller (Eds.), Accounting, Organizations and Institutions: Essays in Honour of Anthony Hopwood (pp. 225–252). Oxford University Press.
Comments :