Paradigma religionis dalam akuntansi memandang praktik dan pelaporan akuntansi tidak hanya sebagai sekadar alat untuk mengukur kinerja ekonomi, tetapi juga sebagai sarana refleksi nilai-nilai religius dan moralitas yang dianut oleh individu maupun lembaga. Dalam hal ini, akuntan dianggap bertanggung jawab bukan hanya kepada pemegang saham atau stakeholder duniawi, melainkan juga kepada entitas transendental yang diyakini, yakni Tuhan atau prinsip-prinsip spiritual tertentu. Akar pemikiran ini dapat ditelusuri kembali pada konsep stewardship dalam tradisi Kristiani, yang menekankan tugas manusia sebagai khalifah di muka bumi yang harus mengelola sumber daya sesuai kehendak Pencipta (Gray, Owen, & Maunders, 1987). Dengan demikian, laporan keuangan tidak semata-mata menilai profitabilitas, melainkan juga ketaatan etis dan kontribusi organisasi terhadap kebaikan bersama sesuai ajaran agama.

Secara khusus, paradigma religionis mendorong akuntansi untuk memasukkan elemen-elemen seperti keadilan sosial, keberlanjutan lingkungan, dan kesejahteraan komunitas atau nilai-nilai yang sering kali ditekankan dalam ajaran agama. Misalnya, dalam Islamic accounting/Sharia accounting menerapkan prinsip-prinsip Syariah seperti larangan riba (bunga), gharar (ketidakpastian), dan mendorong zakat sebagai instrumen redistribusi kekayaan (Hassan & Lewis, 2007). Laporan keuangan syariah tidak hanya memuat neraca dan laporan laba rugi, tetapi juga kinerja dalam memenuhi kewajiban zakat, sedekah, serta kepatuhan terhadap prinsip larangan spekulasi berlebihan. Pendekatan ini menuntut standar akuntansi yang mampu mengukur dan melaporkan dimensi non-finansial yang bersifat mandat religius.

Implementasi paradigma religionis dalam praktik akuntansi juga terlihat pada tren integrated reporting dan ESG (Environmental, Social, and Governance) yang semakin populer. Walaupun disokong oleh argumen bisnis dan regulasi, akar normatif ESG sejatinya beresonansi dengan nilai-nilai religius: perhatian pada lingkungan (khususnya konsep khalifah dalam Islam dan stewardship dalam Kristen), keadilan sosial (prinsip kasih sayang dalam Buddha, keadilan dalam Islam), dan tata kelola yang jujur (kejujuran sebagai nilai universal dalam agama apa pun) (Valor, 2005). Dengan demikian, perusahaan yang mengadopsi laporan terpadu sejatinya sedang menerjemahkan ajaran-ajaran agama ke dalam bahasa bisnis: bahwa keberhasilan jangka panjang bergantung pada perilaku etis dan kontribusi positif terhadap masyarakat.

Namun, paradigma religionis juga menghadapi tantangan/kritik: pertama, tekanan positivis yang mendominasi penelitian akuntansi dan praktik standar yang cenderung netral nilai, sehingga mengabaikan dimensi spiritual. Kedua, keberagaman agama dan perbedaan penafsiran ajaran menyebabkan kesulitan merumuskan standar umum yang dapat diterapkan lintas konteks budaya dan teologis. Oleh karena itu, riset ke depan perlu mengembangkan metodologi interdisipliner yang mengakomodasi pluralitas pandangan religius dan menerjemahkan nilai-nilai tersebut ke dalam kerangka pengukuran yang valid dan andal (Dumay & Guthrie, 2007). Hanya dengan demikian, akuntansi tidak sekadar menjadi cermin kinerja ekonomi, melainkan juga medium penjaga integritas dan tanggung jawab kemanusiaan yang lebih luas.

Refrensi:

  • Dumay, J., & Guthrie, J. (2007). Religion accounting and accountability: Applying Habermas’s communicative action theory to shed light on the cognitive and public sphere constraints to religion accounting. Accounting, Auditing & Accountability Journal, 20(6), 855–882.
  • Gray, R., Owen, D., & Maunders, K. (1987). Corporate Social Reporting: Accounting and Accountability. Prentice Hall.
  • Hassan, A., & Lewis, M. K. (2007). Handbook of Islamic Banking. Edward Elgar Publishing.
  • Valor, C. (2005). Corporate social responsibility and corporate citizenship: Towards corporate accountability. Business and Society Review, 110(2), 191–212.