Toshiba adalah perusahaan manufaktur elektronik berteknologi tinggi yang berkantor pusat di Tokyo, Jepang. Toshiba dibentuk pada tahun 1939, sebagai hasil penggabungan dua perusahaan. Tokyo Denki merupakan perusahaan yang bergerak di bidang barang konsumsi dan perusahaan mesin Shibaura Seisakusho. Ambil beberapa huruf di depan masing-masing perusahaan “TO” dan “SHIBa” dan kemudian lahirlah merek Toshiba. Pada tahun 1984 perusahaan ini resmi berubah menjadi Toshiba Corporation.

Motivasi Manajemen Toshiba melakukan penipuan dalam konteks laporan tahunan dan laporan investigasi independen tahun 2015 adalah, Toshiba menekankan pada profitabilitas dan jaminan kepada pemegang saham untuk meningkatkan kinerja keuangan, bahkan ketika perekonomian domestik dan global tidak dalam kondisi menguntungkan yang merugikan. untuk kerugian. Sangat besar. Adapun tekanan yang diberikan kepada koperasi, para pengurus di perusahaan mendominasi dan menuntut pengurus anak perusahaan untuk mencapai target keuntungan dan pendapatan perusahaan, hal ini disebut dengan “tantangan” mereka (Elghandour & Adel, 2016). Dengan demikian, tuntutan hukum yang diajukan terhadap anak perusahaan tersebut menimbulkan skema akuntansi yang tidak tepat dan laporan keuangan yang salah namun tidak menghentikan persetujuan penyesuaian.

Dalam hal penipuan yang dilakukan oleh anak perusahaan yang telah disetujui oleh para pengurus di perusahaan tersebut, maka penipuan tersebut dilakukan secara kolektif, simultan dan sistematis. Hal ini mengungkapkan bahwa perusahaan Toshiba menganalisis laporan keuangan menggunakan analisis digital dan tren penjualan, pengeluaran, dan aset lancar. Skema penipuan yang dilakukan oleh Toshiba sangat beragam, namun fokusnya adalah pada penggelembungan pendapatan, investasi, dan juga laba bersih, karena ini adalah akun-akun yang paling sering dimanipulasi dalam laporan keuangan (Caplan et al., 2019). Mereka melakukan penipuan dengan terampil dan tersembunyi dari auditor.

Salah satu tools untuk mengungkap kecurangan adalah dengan menerapkan Whistle Blowing System (WBS). Namun WBS tidak berjalan dengan efektif di Toshiba. Berbeda dengan di negara barat, seperti dalam kasus Worldcom yang terungkap dengan adanya whistle blower. Dalam kasus Toshiba, karyawan enggan menjadi whistle blower, karena budaya timur, dimana senioritas dijunjung tinggi. Karyawan tidak berani melaporkan kecurangan atasannya yang merupakan atasan senior. Hal tersebut dikarenakan takut dianggap tidak sopan terhadap seniornya. Hal ini membuat kasus ini mengendap sekian lama dan kerugian yang diakibatkan makin membesar.

Terungkapnya skandal Toshiba ini membuat pemerintah Jepang membuat reformasi tata kelola. Dengan adanya kode tata kelola perusahaan yang baru untuk perusahaan tercatat (yang mulai berlaku pada tanggal 1 Juni 2015). Berdasarkan pedoman ini, perusahaan-perusahaan Jepang kini harus melaporkan (“mematuhi atau menjelaskan”) sehubungan dengan daftar panjang permasalahan tata kelola. Meskipun prinsip yang jelas yang merekomendasikan minimal dua direktur independen telah mendapatkan banyak perhatian, bidang baru lainnya seperti pelatihan direktur dan evaluasi diri dewan mungkin memiliki dampak yang lebih besar pada fungsi dewan.

Referensi:

Caplan, D. H., Dutta, S. K., & Marcinko, D. J. (2019). Unmasking the fraud at toshiba. Issues in Accounting Education. https://doi.org/10.2308/iace-52429

Elghandour, N., & Adel, T. (2016). Corporate social responsibility measurement: Case study on toshiba corporation. … , Faculty of Economics and Political Science …, May. https://www.academia.edu/download/52147208/Final_CSR_Paper.pdf

 

BLH

Image Source: Google Images