United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) adalah entitas di bawa PBB dengan fokus kerja pada pengendalian dampak perubahan iklim global. UNCC akan memonitor pencapaian negara anggotanya dalam pengurangan emisi gas rumah kaca. Maka dari itu, UNFCCC memberikan 3 skema yang bisa diterapkan oleh negara Annex I/Annex B guna mencapai target penurunan emisi masing-masing negara tersebut. Skema tersebut antara lain, Clean Development Mechanism CDM), Joint Implementation (JI), dan Perdagangan Emisi (emission trading). Pada artikel ini, kita hanya akan membahas mengenai instrumen nilai ekonomi karbon dari perdagangan emisi.  

Instrumen nilai ekonomi karbon (NEK) merupakan instrumen kebijakan baru yang terdiri dari instrumen perdagangan karbon maupun non perdagangan karbon. Instrumen perdagangan karbon merupakan kegiatan jual beli emisi karbon yang dapat dilakukan secara wajib maupun sukarela. Ada 2 skema perdagangan karbon yang diterapkan pemerintah, yaitu melalui perdagangan emisi karbon (sistem cap-and-trade) dan carbon offset 

Skema perdagangan emisi karbon mencangkup mekanisme transaksi antara pelaku usaha yang memiliki emisi melebihi Batas Atas Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang ditentukan. Berdasarkan Pasal 48 dari Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021, perdagangan karbon domestik atau internasional dilakukan melalui Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN PPI) dengan mengutamakan penggunaan Sertifikat Penurunan Emisi GRK yang dihasilkan melalui mekanisme sertifikasi penurunan emisi nasional. 

Dalam carbon trading dikenal istilah Assigned Amount Unit atau AAU. AAU yang memberikan informasi mengenai jumlah unit emisi yang diperbolehkan atas suatu negara. Negara-negara dengan emisi karbon yang melebihi nilai AAU dapat membeli ‘hak emisi’ yang tidak dipergunakan oleh negara yang nilai emisinya di bawah AAU 

Selain perdagangan emisi karbon, opsi lainnya adalah carbon offset. Carbon Offset juga dikenal sebagai sistem baseline-and-crediting. Skema ini tidak memerlukan kuota (allowances) di awal periode, karena yang dijadikan komoditas (disebut kredit karbon) adalah hasil sertifikasi pengurangan emisi karbon akibat pelaksanaan proyek penurunan emisi karbon. Satu unit kredit karbon biasanya setara dengan pengurangan emisi satu ton karbon dioksida (CO2).  

Berdasarkan Pasal 52 Perpres 98/2021, Carbon Offset diterapkan dalam hal usaha dan/atau kegiatan yang tidak memiliki Batas Emisi GRK, memberikan pernyataan pengurangan emisi dengan menggunakan hasil aksi mitigasi perubahan iklim dari usaha dan/atau kegiatan lain. Batas Emisi GRK adalah tingkat emisi GRK maksimum untuk jangka waktu tertentu yang ditetapkan dengan menyusun dan menetapkan tingkat emisi GRK pada subsektor dan usaha dan/atau kegiatan oleh menteri. 

Selanjutnya, Pasal 52 ayat (2) Perpres 98/2021, mengatur bahwa Carbon Offset diterapkan dalam hal suatu usaha dan/atau kegiatan: 

  1. Tidak ada batasan emisi yang ditentukan; 
  2. hasil penurunan emisi GRK dari aksi mitigasi perubahan iklim yang dilakukan berada di bawah target dan baseline yang ditetapkan; 
  3. hasil penurunan emisi GRK dari aksi mitigasi perubahan iklim yang dilakukan berada di atas target dan di bawah baseline yang ditetapkan. 

Kemudian, instrumen NEK non-perdagangan di antaranya adalah pengenaan pajak karbon sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang juga disahkan pada tanggal 29 Oktober lalu. Pajak karbon merupakan pajak yang dikenakan atas pemakaian bahan bakar berbasis karbon ataupun yang menghasilkan sumber emisi karbon. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan “emisi karbon” adalah emisi karbon dioksida ekuivalen (CO2e).  

Berdasarkan UU HPP, pajak karbon akan diterapkan secara bertahap berdasarkan peta jalan (roadmap) yang akan memuat strategi penurunan emisi karbon dalam Nationally Determined Contribution (NDC), sasaran sektor prioritas, serta kesiapan kondisi ekonomi negara. Peta jalan pajak karbon tersebut juga akan turut memperhatikan perkembangan pasar karbon serta pembangunan energi baru terbarukan (EBT). Pada Bab VI UU HPP Pasal 13, pengenaan tarif pajak karbon yang ditetapkan yaitu sebesar Rp30 per kilogram karbon CO2e. Namun, rencana awal pengenaan tarif pajak karbon dalam draft RUU KUP dua kali lipat lebih tinggi yaitu sebesar Rp75 per kilogram CO2e.  

Tarif pajak karbon yang ditetapkan tersebut jauh di bawah rekomendasi World Bank dan IMF untuk negara berkembang, yaitu antara US$ 35 – US$ 100 per ton atau sekitar Rp507.500 – Rp1,4 juta per ton, dengan asumsi kurs Rp14.500 per US$. Menurut Cut Nurul Aidha, ekonom The PRAKARSA, keputusan pemerintah untuk menetapkan harga Rp30 per kilogram karbon CO2e dianggap terlalu rendah jika dibandingkan Singapura yang mengenakan tarif sebesar US$ 0.0040 per kilogram C02e atau sekitar Rp56.89 per kilogram CO2e. Padahal jumlah emisi yang dihasilkan Singapura jauh di bawah Indonesia. Walaupun tarif pajak karbon Rp30 per kilogram karbon CO2e merupakan langkah maju, namun tarif yang ditetapkan masih terlalu rendah jika dibandingkan dengan emisi karbon yang dihasilkan Indonesia. 

Harapan kami, semoga perdagangan karbon ini akan benar-benar memberi dampak positif tidak hanya untuk lingkungan namun juga untuk perekonomian di Indonesia.  

Reference: 

  • Ambarnis, A. (2021). Indonesia Peringkat 5 Penyumbang Emisi Karbon Dioksida Terbesar di Dunia. BangsaOnline. https://bangsaonline.com/berita/112235/indonesia-peringkat-5-penyumbang-emisi-karbon-dioksida-terbesar-di-dunia?page=2  
  • Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional 
  • Iqbal, M. (2022). Perdagangan Karbon: Pengertian, Skema Pelaksanaan, hingga sejarahnya! Lindungihutan. https://lindungihutan.com/blog/apa-itu-perdagangan-karbon/ 

Image Source: Google Images