Pertumbuhan perekonomian negara disebabkan oleh berbagai aktivitas, seperti salah satunya dunia industri yang berperan penting untuk menunjang stabilitas ekonomi melalui kegiatan operasional yang bertujuan untuk mencapai laba dan kepercayaan publik. Dalam menjalani aktivitasnya, perusahaan secara rutin menyajikan informasi pada laporan keuangan untuk menggambarkan pergerakan entitas yang transparan dan akuntabel sesuai kepercayaan yang dilemparkan oleh investor pada perusahaan tersebut. Laporan keuangan memiliki informasi yang mencakup skala yang luas, mulai dari informasi kuantitatif terkait dengan data transaksi, arus kas, dan pengelolaan asset perusahaan untuk meningkatkan produktivitas secara efektif serta informasi kualitatif terkait dengan tatanan struktur, tata kelola manajemen sumber daya, hingga mitigasi risiko dengan pendekatan yang tepat (Bruch & Adkins, 2015).

Namun, seluruh data informasi yang tersaji pada laporan keuangan membutuhkan pihak professional yang menjamin kebenarannya bahwa data yang diproyeksikan dapat dipertanggung jawabkan dan telah dicatat sesuai standar akuntansi keuangan, dimana pekerjaan tersebut dilaksanakan oleh auditor eksternal. Menurut Agoes (2017) auditor merupakan sebuah profesi untuk mengidentifikasi, menelusuri, menganalisis, dan mengevaluasi data dokumen secara kritis dan skeptis untuk menghasilkan professional judgment yang dapat dipercaya dan akurat. Auditor memegang peranan penting dalam menjaga kredibilitas laporan keuangan, dimana pada pembahasan ini terfokus kepada auditor eksternal yang menyajikan opini audit dalam laporan audit independen untuk meningkatkan validitas pada penyajian laporan keuangan.

Auditor eksternal pada pembahasan ini adalah auditor keuangan (Financial Audit) yang menyediakan jasa assurance maupun non-assurance yang memeriksa laporan keuangan seturut dengan kode etik dan standar audit yang diadopsi. Pada jasa assurance, auditor melaksanakan kegiatan audit berdasarkan beberapa tahapan prosedur yang dirancang untuk mensukseskan tujuan audit. Tetapi, auditor perlu mengetahui terlebih dahulu terkait dengan risiko (Audit risk) agar dapat membangun perencanaan yang relevan dengan situasi di lapangan yang terjadi, dimana pada buku “Praktikum Audit Instruksi Umum, Berkas Permanen, Permasalahan, dan Kertas Kerja Pemeriksaan Tahun Lalu” Buku 1 oleh Agoes & Trisnawati (2019) mengulas secara mendalam seperti sebagai berikut:

  1. Inherent Risk (Risiko Bawaan): Suatu peristiwa yang rentan dapat terjadi saat pelaksanaan pencatatan transaksi dalam laporan keuangan yang disebabkan oleh tidak terdapatnya atau minim nya kebijakan Standar Pengendalian Internal (SPI) dalam perusahaan, sehingga hal tersebut akan mempengaruhi salah saji material pada pencatatan laporan keuangan (Agoes & Trisnawati, 2019). Setiap transaksi diinput berdasarkan account di jurnal yang bila penginputan nya terjadi salah peletakan (Human error) berdampak kepada proyeksi laporan keuangan.
  2. Control Risk (Risiko Pengendali): Risiko yang selalu dapat terjadi karena keterbatasan bawaan dalam setiap struktur pengendalian internal, dimana suatu salah saji material yang dapat terjadi dalam suatu asersi tidak dapat diminimalisir atau dicegah oleh pengendalian dalam perusahaan secara tepat waktu.
  3. Detection Risk (Risiko Deteksi): Risiko yang kemungkinan dapat terjadi akibat kesalahan atau kekurangan yang dimiliki auditor dalam mengumpulkan bukti audit, sehingga dengan terjadinya kegagalan tersebut cenderung menurunkan kualitas pengujian yang dapat dilaksanakan oleh auditor akan minimnya sumber yang diperoleh.
    1. Sampling risk: risiko bahwa kesimpulan yang diambil oleh auditor didasarkan pada sampel yang berbeda dari kesimpulan yang akan terjadi jika audit dilakukan atas seluruh populasi data. Sampling risk juga bisa diartikan sebagai sampel yang tidak merepresentasikan populasi data yang dipilih.
    2. Non-sampling risk: risiko bahwa kesimpulan yang diambil oleh auditor bukanlah keputusan yang layak karena adanya suatu alasan. Contoh dari non-sampling risk adalah pengaplikasian prosedur audit yang tidak sesuai ataupun kegagalan dalam menemukan misstatement pada laporan keuangan.

Berdasarkan pada penyajian risiko diatas, dapat disimpulkan bagaimana DR berbanding terbalik dengan IR dan CR, dimana apabila semakin tinggi DR yang terjadi, maka tingkat IR dan CR akan semakin kecil untuk terjadi dan sebaliknya (Agoes & Trisnawati, 2019).

Dalam melakukan audit, dikenal juga istilah material. Menurut ISA 320 tentang Materiality in Planning and Performing an Audit, salah saji yang juga mencakup penghilangan nominal/transaksi dianggap material jika secara individu ataupun secara agregat mampu memengaruhi pengambilan keputusan yang dilakukan oleh pengguna laporan keuangan. Dalam menentukan materialitas, salah satu faktor yang memengaruhi adalah professional judgement yang auditor miliki, dimana auditor perlu mempertimbangkan apakah salah saji akan memengaruhi pengambilan keputusan oleh pengguna, ukuran serta sifat akun, dan informasi yang akan dibutuhkan oleh pengguna laporan keuangan. Dari segi ukuran materialitas, pada umumnya batas material pada pendapatan adalah ½ hingga 1%, sedangkan pada pendapatan sebelum pajak berada di rentang 5 – 10% serta 1 – 2% dari total aset.

REFERENSI

  • Agoes, S. (2017). Auditing: Petunjuk Praktis Pemeriksaan Akuntan oleh Akuntan Publik (5th ed.). Salemba Empat.
  • Agoes, S., & Trisnawati, E (2019). PRAKTIKUM AUDIT Instruksi Umum, Berkas Permanen, Permasalahan, dan Kertas Kerja Pemeriksaan Tahun Lalu – BUKU 1 (Edisi 4). Salemba Empat.
  • Bruch, G. S., & Adkins, A. N. (2015). Accounting. In The OECD Convention on Bribery. https://doi.org/10.1007/CBO9781139565332

Image source: Google Images