Perdagangan karbon merupakan transaksi jual beli kredit karbon dalam bentuk sertifikat pengurangan emisi karbon dari serangkaian kegiatan mitigasi perubahgan iklim yang dilakukan. Kredit karbon yang dimaksud merujuk pada representasi dari hak perusahaan untuk mengeluarkan emisi karbon atau gas rumah kaca lainnya dalam proses industrinya. Di Indonesia, perdagangan karbon sudah ada sejak lama dan sudah memiliki dasar hukumnya sendiri.

Dasar hukum perdagangan karbon diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 98 Tahun 2021 tentang nilai ekonomi karbon yang kemudian diturunkan dalam peraturan yang dikeluarkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan berupa Peraturan Nomor 21 Tahun 2022 tentang tata laksana penerapan nilai ekonomi karbon pada 21 September 2022.

Perdagangan karbon dilakukan sebagai langkah pemerintah untuk mengurangi emisi karbon di Indonesia, sekaligus menjadi sumber pemasukan negara. Seperti yang kita ketahui bahwa Indonesia berada di urutan kelima dari sepuluh negara penyumbang emisi karbon terbesar di dunia. Emisi karbon di Indonesia sebagian besar berasal dari penggunaan bahan bakal fossil terutama melalui PLTU batubara dan penggundulan hutan. Diketahui bahwa Indonesia telah menyumbang 4% dari total emisi karbon dioksida (CO2) global dalam rentang waktu 1850-2021 (Ambarnis, 2021). Sehingga perdagangan karbon memiliki potensi yang sangat besar khususnya dalam rangka pengelolaan dan penggunaan alam secara sukarela.

Menurut data dari Boston Consulting Group (BCG), potensi dari pengelolaan dan penggunaan alam secara sukarela (Nature Based Solution) Indonesia sebesar 1,4 GtCO2e per tahun, sehingga diperkirakan pasar kredit karbon sukarela Indonesia dapat mencapai nilai Rp 60-85 triliun pada tahun 2030.

Selain itu, menurut Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI), perdagangan karbon di Indonesia dapat mencapai USD 300 miliar atau sekitar Rp. 4.625 triliun per tahun, yang berasal dari kegiatan menanam kembali hutan yang gundul hingga penggunaan energi terbarukan (EBT).

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah resmi meluncurkan perdagangan karbon mulai dari 2023-2024 di subsektor pembangkit listrik secara mandatory. Unit pembangkit listrik yang dimaksud adalah Unit Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) barubara yang terhubung dengan jaringan tenaga listrik yang berkapasitas lebih besar atau sama dengan 100 MW. Perdagangan karbon ini rencananya akan diimplementasikan melalui 2 mekanisme, yaitu perdagangan emisi dan offset emisi .

Harapan kami, semoga perdagangan karbon ini akan benar-benar memberi dampak positif tidak hanya untuk lingkungan namun juga untuk perekonomian di Indonesia.

Reference:

  • Ambarnis, A. (2021). Indonesia Peringkat 5 Penyumbang Emisi Karbon Dioksida Terbesar di Dunia. BangsaOnline. https://bangsaonline.com/berita/112235/indonesia-peringkat-5-penyumbang-emisi-karbon-dioksida-terbesar-di-dunia?page=2
  • Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 98 Tahun 2021 tentang        Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional

Image Source: Google Images