Hi Binusian!, Belakangan ini banyak sekali berita mengenai perusahaan yang melakukan PHK secara besar-besaran. Namun, tahukah kalian bahwa di Indonesia sendiri ada aturan hukum yang khusus mengatur tentang ini.

Ketentuan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dulunya diatur melalui Pasal 158 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) yang kemudian diubah dengan Pasal 81 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020.

Pasal 81 Nomor 37

  1. Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan Pemerintah harus mengupayakan agar tidak terjadi pemutusan hubungan kerja.
  2. Dalam hal pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maksud dan alasan pemutusan hubungan kerja diberitahukan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/ serikat buruh.
  3. Dalam hal pekerja/buruh telah diberitahu dan menolak pemutusan hubungan kerja, penyelesaian pemutusan hubungan kerja wajib dilakukan melalui perundingan bipartit antar pengusaha dengan pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh.
  4. Dalam hal perundingan bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mendapatkan kesepakatan, pemutusan hubungan kerja dilakukan melalui tahap berikutnya sesuai dengan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Pasal 81 Nomor 38

Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 161 ayat (2) tidak perlu dilakukan oleh pengusaha dalam hal:

  1. Pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri;
  2. Pekerja/buruh dan pengusaha berakhir hubungan kerjanya sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu;
  3. Pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama; atau
  4. Pekerja/buruh meninggal dunia.

Pasal 81 Nomor 40

  1. Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja kepada pekerja/buruh dengan alasan:
  2. Berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus – menerus;
  3. Berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  4. Menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
  5. Menikah;
  6. Hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya;
  7. Mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan;
  8. Mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
  9. Mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
  10. Berbeda paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisis fisik, atau status perkawinan; dan
  11. Dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.
  12. Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan sebagaimana dimaksud dengan ayat (1) batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan.

Pasal 81 Nomor 42

Pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena alasan:

  1. Perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja atau pengusaha tidak bersedia menerima pekeja/buruh;
  2. Perusahaan melakukan efisiensi diikuti dengan penutupan perusahaan atau tidak diikuti dengan penutupan perusahaan yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian;
  3. Perusahaan tutup yang disebabkan karena perusahaan mengalami kerugian secara terus-menerus selama 2 (dua) tahun ;
  4. Perusahan tutup yang disebabkan keadaan memaksa (force majeur);
  5. Perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang;
  6. Perusahaan pailit;
  7. Adanya permohonan pemutusan hubungan kerja yang diajukan oleh pekerja/buruh dengan alasan pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut:
  • Menganiaya, menghina secara kasar atau
  • Mengancam pekerja/buruh;
  • Membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
  • Tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih, meskipun pengusaha membayar upah secara tepat waktu sesudah itu;
  • Tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/buruh;
  • Memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan; atau
  • Memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, dan kesusilaan pekerja/buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja;
  1. Adanya putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang menyatakan pengusaha tidak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada huruf g terhadap permohonan yang diajukan oleh pekerja/buruh dan pengusaha memutuskan untuk melakukan pemutusan hubungan kerja;
  2. Pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri dan harus memenuhi syarat:
  • Mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri;
  • Tidak terikat dalam ikatan dinas; dan
  • Tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri;
  1. Pekerja/buruh mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggul oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis;
  2. Pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama dan sebelumnya telah diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
  3. Pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaan selama 6 (enam) bulan akibat ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana;
  4. Pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan;
  5. Pekerja/buruh memasuki usia pensiun; atau
  6. Pekerja/buruh meninggal dunia.

Sumber:

  • Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Image Sources: Google Images