Pertumbuhan bisnis telah menjadi dasar untuk menentukan kondisi perekonomian individu agar dapat bertahan hidup. Dengan adanya berbagai faktor yang menjadi kebutuhan utama, dimulai dari kebutuhan primer (Sandang dan papan), sekunder, hingga tersier, para individu mendorong diri mereka untuk memperoleh pendapatan yang dapat memenuhi kebutuhan maupun keinginan. Para pelaku bisnis hingga seluruh karyawan berlomba memanfaatkan waktu untuk menghasilkan performa kinerja yang kompeten dengan tujuan untuk mendapatkan peluang yang lebih baik. Selain itu, dengan tinggi nya perkembangan perusahaan akan mempengaruhi sistem jual beli di pasar dan masyarakat, yang dengan demikian akan menjadi sarana yang mendukung pembangunan perekonomian negara. Namun, perlu diperhatikan bagaimana para tenaga kerja dalam menyelesaikan pekerjaannya membutuhkan sikap yang transparansi, integritas, dan akuntabel agar dapat menjaga kepercayaan yang diberikan oleh para pemangku kepentingan dalam mewujudkan tujuan bisnis (ECIIA, 2019).

Dengan semakin pesatnya tingkat kebutuhan, telah mempengaruhi kondisi psikis individu maupun masyarakat dalam mencapai tujuannya. Terdapat berbagai macam yang mendasari mengapa manusia sangat ingin segera mendapatkan yang mereka inginkan, dimana bisa dikarenakan oleh desakan waktu, tekanan yang kuat dari keluarga untuk memenuhi biaya dengan gaji yang sedikit, dan beberapa aspek lainnya yang menjadi alasan manusia dapat bertindak melewati batas (Nigrini, 2012). Tingkat kecurangan semakin marak terjadi dengan adanya niat dan dorongan dari berbagai pihak untuk memperoleh keuntungan pribadi dengan melaksanakan kegiatan ilegal. Tindakan tersebut mengakibatkan kepada menurunnya kinerja organisasi yang telah dirugikan karena dampak dari pencurian, korupsi, dan tindakan negatif lainnya yang menimbulkan anomali. Selain itu, dengan adanya kecurangan akan menciptakan risiko yang tinggi, terutama bagaimana hal tersebut berdampak kepada branding dan nilai yang dimiliki oleh perusahaan, salah satunya melalui penyajian laporan keuangan yang terdampak pada perilaku kecurangan tersebut.

Dengan berkembangnya zaman menuntut perkembangan ilmu pengetahuan untuk memajukan pola pikir dan kehidupan masyarakat, dimana dalam fraud triangle theory yang dikembangkan oleh Cressey pada tahun 1953 juga mengalami pembaruan pengetahuan yang menjadi fraud diamond oleh Wolfe & Hermanson pada tahun 2004, fraud pentagon oleh Crowe Horward pada tahun 2011 dan fraud hexagon oleh Georgios L Vousinas pada tahun 2016 (Desviana et al., 2020). Pertumbuhan pengetahuan akan kecurangan mengalami perkembangan karena semakin maraknya tingkat kejahatan yang dilakukan oleh sekelompok atau individu. Menurut laporan (ACFE, 2022) mencatatkan bahwa tingkat kecurangan dengan lebih dari 70% dilakukan dalam bentuk material misstatement yang diikuti oleh corruption dan fraudulent statement, dimana dengan kemajuan zaman di era revolusi industri 4.0 juga mensinergikan pelaku kecurangan dengan penerapan teknologi (e-document, e-transaction, big data, dan sebagainya). Namun konteks pada pembahasan ini tertuju kepada fraud triangle dan fraud pentagon theory yang akan dibahas pada part selanjutnya.

REFERENSI

  • ACFE. (2022). Occupational Fraud 2022: A Report to the nations. Acfe, 1–96.
  • Desviana, Basri, Y. M., & Nasrizal. (2020). Analisis Kecurangan pada Pengelolaan Dana Desa dalam Perspektif Fraud Hexagon. Studi Akuntansi Dan Keuangan Indonesia, 3(1), 50–73.
  • ECIIA. (2019). Risk in focus 2020: Hot Topics For Internal Auditors. 43.
  • Nigrini, M. J. (2012). Forensic Analytics: Methods and Techniques for Forensic Accounting Investigations. In Forensic Analytics: Methods and Techniques for Forensic Accounting Investigations. https://doi.org/10.1002/9781118386798

Image Sources: Google Images