Krisis keuangan yang terjadi di Asia pada akhir tahun 90-an disebabkan oleh banyaknya faktor secara global. Terjadi skandal Enron di Amerika Serikat yang merupakan salah satu skandal penipuan korporasi terbesar yang menyebabkan juga jatuhnya salah satu dari 5 KAP terbesar, yakni Arthur Andersen. Selain itu, berbagai konflik yang terjadi di Asia, tidak hanya secara politis, namun juga pada sisi ekonomi yang tidak stabil pada saat itu. Krisis keuangan menyebabkan tingginya inflasi, sehingga juga menyebabkan Rupiah secara nilai jatuh jauh dibandingkan dengan mata uang standar internasional, Dolar AS. Di sini akan lebih membahas mengenai tata kelola dari perusahaan yang ada di Asia, yang merupakan salah satu faktor atau katalis penyebab krisis keuangan Asia.

Pada awal sebelum terjadinya krisis keuangan Asia akhir tahun 90-an, seperti investor atau penanam modal di bagian lain di dunia, hanya memusatkan perhatian pada laba atau performa perusahaan dan sama sekali tidak memperhatikan hal seperti ESG (Environmental, Social and Governance). Tidak hanya itu, perusahaan juga memusatkan perhatian pada Single Bottom Line (Economic) daripada Triple Bottom Line (Economic, Social, Environmental). Belum memperhatikan ciri-ciri dari perusahaan dari masing-masing negara, perusahaan-perusahaan yang berbasis di Asia memiliki ciri unik, yakni pemegang saham mayoritas di masing-masing perusahaan merupakan satu keluarga besar dan mengandalkan relasi untuk melaksanakan transaksi. Dari sini saja sudah bisa dilihat bahwa secara tata kelola, perusahaan tidak memiliki integritas atau akuntabilitas, dan dengan pemegang saham mayoritas yang semua dalam suatu keluarga besar, transparansi tidak dapat diandalkan karena informasi tidak disebarkan di luar lingkup tersebut, dan hak yang dimiliki oleh pemegang saham minoritas tidak akan dihormati dan akan bahaya, baik dalam segi kendali maupun segi kepentingan.

Pada artikel ilmiah ini, diambil 5 negara ekonomi terbesar di Asia sebagai sampel untuk menggambarkan secara keseluruhan apabila tata kelola perusahaan memang merupakan salah satu faktor yang memicu krisis keuangan di Asia pada akhir tahun 90-an. 5 negara tersebut merupakan China, Thailand, Indonesia, Hong Kong, dan Filipina. Secara politik dan sejarah saja sudah unik, dengan China berbasis komunisme, Thailand berbasis kerajaan, Indonesia berbasis pemerintahan Eropa (Belanda), Hong Kong dengan otoritas khusus dari China (dan pemerintahan Eropa – Inggris), dan Filipina berbasis pemerintahan Amerika Serikat. Dari situ saja sudah kurang lebih disampaikan lagi gambaran secara umum bagaimana pemerintah dari masing-masing negara akan menghadapi perusahaannya, baik publik maupun swasta.

Yang pertama ada China, di mana terdapat 2 ciri khusus untuk kerangka tata kelola perusahaan di China. Yang pertama adalah, fakta di mana mayoritas dari perusahaan yang sudah IPO atau ter-listing, merupakan perusahaan yang secara mayoritas dimiliki oleh pemerintah. Yang kedua adalah pasar modal atau bursa efek diatur oleh banyaknya regulasi dari pemerintah, sehingga mendapatkan sebutan administrative governance, atau tata kelola administratif pada tahun 2005 oleh Pistor dan Xu. Ini sehingga mengabaikan kepentingan pemegang saham minoritas dan membuat ekonomi secara keseluruhan diatur oleh pemerintah, meskipun pada tahun 2002, China memang menyusun kerangka tata kelola yang berdasarkan prinsip yang ditentukan OECD.

Referensi:

  • Cheung, Y. L., Connelly, J. T., Estanislao, J. P., Limpaphayom, P., Lu, T., & Utama, S. (2014). Corporate Governance and Firm Valuation in Asian Emerging Markets. CSR, Sustainability, Ethics and Governance, 27–53. https://doi.org/10.1007/978-3-642-44955-0_2
  • Elkington, J. (1998). Accounting for the Triple Bottom Line. In Measuring Business Excellence (Vol. 2, Issue 3, pp. 18–22). https://doi.org/10.1108/eb025539

Image Sources: Google Images