Pajak penghasilan untuk negara bukan sekedar pendapatan saja, namun juga merupakan salah satu metode untuk mengatur, sehingga fungsi pajak selain budgetair (anggaran), ada juga fungsi regularend (mengatur). Dalam hal ini, pajak penghasilan merupakan salah satu metode pemerintah untuk mengatur ketimpangan penghasilan antar berbagai kalangan dan golongan di Indonesia. Dengan tarif progresif ditambah dengan prinsip penghasilan tidak kena pajak (PTKP), pemerintah dapat mengenakan pajak yang lebih banyak untuk mereka yang berpendapatan lebih banyak, dan tidak mengenakan pajak terhadap mereka yang termasuk kalangan miskin atau kurang mampu, sehingga penghasilan yang didapatkan bisa digunakan untuk kebutuhan pokok, sedangkan pajak yang dikenakan kepada mereka yang lebih tinggi penghasilannya akan dikembalikan lagi kepada masyarakat secara tidak langsung.

Memperhatikan kondisi ekonomi dari Indonesia secara demografis, dilaksanakan pengumpulan data secara statistika oleh Badan Pusat Statistik (BPS). BPS melaksanakan penyusunan data setiap 2 semester, sehingga dalam data akan ditunjukkan titik waktu Maret dan September, sehingga proses penyusunan data adalah pada Maret-Agustus dengan data disajikan pada bulan September, dan pada September-Februari dengan data disajikan pada bulan Maret. Dalam penyajian data oleh BPS, dalamnya termasuk kajian terhadap tingkat kemiskinan dan ketimpangan penghasilan di Indonesia.

Berdasarkan data yang telah disajikan oleh BPS untuk periode Maret 2022, untuk tingkat kemiskinan telah turun 0,17% sejak September 2021, atau 340 ribu orang di perkotaan dan perdesaan, dengan mayoritasnya terjadi di perdesaan. Meskipun telah turun, masih banyaknya penduduk yang diklasifikasikan sebagai miskin, yakni 9.54% atau lebih dari 26 juta se-Indonesia.

Dibanding dengan tingkat kemiskinan yang turun pada periode Maret 2022, dibandingkan dengan September 2021, ketimpangan penghasilan meningkat sebanyak 0,003 poin. Untuk ketimpangan penghasilan, atau yang disebut sebagai rasio Gini, 0 berarti tidak ada ketimpangan penghasilan sama sekali dan 1 berarti hanya ada 1 pihak atau kelompok yang mendapatkan semua penghasilannya. Dalam perkotaan dan perdesaan nilai dari rasio Gini pada periode Maret 2022 adalah 0,384, kembali ke nilai yang sama pada Maret 2021, meskipun sempat turun menjadi 0,381 pada September 2021.

Menghadapi semua ini, pemerintah mengesahkan Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, sebagai upaya untuk mempermudah & menyederhanakan proses perpajakan, meringankan biaya perpajakan, dan upaya mitigasi ketimpangan penghasilan di Indonesia.

Dalam PPh 21, didapatkan pendapatan atau gaji pokok, yang kemudian ditambahkan dengan tunjangan & fasilitas, dikurangi biaya jabatan dan pengurang lainnya semua sesuai dengan undang-undang yang berlaku, di mana sebelum Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan adalah UU No. 36 Tahun 2008. Pada tahap itu akan didapatkan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) yang kemudian akan dikurangkan dengan PTKP dan menjadi Penghasilan Kena Pajak (PKP). Tarif yang berlaku di undang-undang akan menggunakan PKP sebagai dasar perhitungan.

Dalam artikel ini, akan disediakan 2 kasus, di mana kasus pertama mendapatkan PKP sebanyak 100 juta, dan kasus kedua mendapatkan PKP sebanyak 10 miliar, sebagai upaya untuk menunjukkan perbedaan perhitungan PPh 21 sebelum dan setelah Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Sebagai catatan, harus diperhatikan bahwa kedua kasus menggunakan PKP setahun.

Sebelum UU HPP

Tarif  Batas  PKP Dialokasikan  Sisa PKP PPh 21
100,000,000
5% 50,000,000 50,000,000 50,000,000 2,500,000
15% 250,000,000 50,000,000 7,500,000
25% 500,000,000
30%
100,000,000  PPh Terutang 10,000,000

Setelah UU HPP

Tarif  Batas  PKP Dialokasikan  Sisa PKP PPh 21
  100,000,000
5% 60,000,000 60,000,000 40,000,000 3,000,000
15% 250,000,000 40,000,000 6,000,000
25% 500,000,000
30% 5,000,000,000
35%
100,000,000 PPh Terutang 9,000,000

Dari Kasus A, dapat diperhatikan bahwa setelah disahkan UU HPP, pajak yang terutang mengecil sebagai akibat dari batas atas dari lapisan pertama (5%) ditingkatkan menjadi 60 juta. Ini menyebabkan terdapat PKP senilai 10 juta yang dihitungkan pada lapisan pertama daripada lapisan kedua (15%) yang memiliki tarif lebih tinggi dan secara otomatis mengakibatkan nilai terutang yang lebih tinggi.

Sebelum UU HPP

Tarif  Batas  PKP Dialokasikan  Sisa PKP PPh 21
10,000,000,000
5% 50,000,000 50,000,000 9,950,000,000 2,500,000
15% 250,000,000 250,000,000 9,700,000,000 37,500,000
25% 500,000,000 500,000,000 9,200,000,000 125,000,000
30% 9,200,000,000 2,760,000,000
10,000,000,000 PPh Terutang 2,925,000,000

Setelah UU HPP

Tarif  Batas  PKP Dialokasikan  Sisa PKP PPh 21
10,000,000,000
5% 60,000,000 60,000,000 9,940,000,000 3,000,000
15% 250,000,000 250,000,000 9,690,000,000 37,500,000
25% 500,000,000 500,000,000 9,190,000,000 125,000,000
30% 5,000,000,000 5,000,000,000 4,190,000,000 1,500,000,000
35% 4,190,000,000 1,466,500,000
10,000,000,000 PPh Terutang 3,132,000,000

Dari kasus B, pajak terutang setelah UU HPP semakin meningkat. Mengingat kembali ke kasus A sebelumnya di mana pada lapisan pertama ditingkatkan batas atasnya sebanyak 10 juta. Ini tidak mengurang PPh terutang setelah UU HPP dikarenakan ditambahkan lapisan kelima (35%) dengan tarif yang lebih tinggi lagi dari tarif tertinggi sebelum UU HPP, yakni lapisan keempat (30%). Tarif yang lebih tinggi ini secara otomatis mengenakan PPh terutang lebih banyak seiring dengan bertambahnya penghasilan.

Referensi:

  • Menteri Keuangan Republik Indonesia (2008). Undang-undang Nomor 36 tentang Perubahan Keempat atas Undang-undang Nomor 7 tentang Pajak Penghasilan. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
  • Menteri Keuangan Republik Indonesia (2021). Undang-undang Nomor 7 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

Image Sources: Google Images