Pro Kontra Kenaikan PPN 11%
Menurut Undang-Undang No.28 Tahun 2007, Pajak merupakan kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Salah satu jenis pajak yang wajib dibayar rakyat ialah PPN (Pajak Pertambahan Nilai). PPN merupakan pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen.
Berdasarkan Undang-undang No.7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), tarif PPN ditetapkan naik menjadi sebesar 11% yang berlaku per tanggal 1 April 2022. Kenaikan tarif PPN ini akan berlangsung secara bertahap hingga tahun 2025 dengan mempertimbangkan aspek sosial dan aspek ekonomi. Pada pasal tersebut juga menyatakan tarif PPN akan terus naik menjadi 12% paling lambat 1 Januari 2025 mendatang.
Kenaikan tarif PPN ini bukan hanya diterapkan di Indonesia saja namun juga oleh negara lain di dunia. Berdasarkan data yang dihimpun DDTC Fiscal Research & Advisory dari 127 negara, rata-rata tarif PPN per 2020 adalah sebesar 15,4%. Sementara di 31 negara Asia, rata-rata tarif PPN tercatat 12%. Artinya adalah kenaikan tarif PPN sebesar 11% yang terjadi di Indonesia adalah hal yang wajar.
Hal ini dikarenakan kenaikan tarif PPN ini dapat meningkatkan penerimaan negara lewat pengumpulan pajak digital. Oleh karena itu kebijakan menaikan tarif PPN ini merupakan jalan keluar bagi pemerintah dalam menangani defisit anggaran dan utang pemerintah. Diketahui bahwa total utang negara sampai dengan tahun 2021 tembus hampir 42 persen dari PDB. Selain itu pengenaan PPN ini hanya berlaku di beberapa barang dan jasa. Barang dan jasa yang dianggap sangat dibutuhkan oleh masyarakat tidak dikenakan PPN, seperti kebutuhan pokok, kesehatan, pendidikan, pelayanan sosial, dan lain sebagainya.
Namun, kenaikan tarif PPN ditengah semua harga pokok sedang tinggi ini menuai tanggapan negatif dari beberapa pihak yang sebagian besar terdampak langsung dari ditetapkannya kebijakan tersebut. Para pelaku usaha menilai kenaikan tersebut secara otomatis akan berimbas kepada naiknya harga barang dan jasa di seluruh Indonesia. Selain itu kenaikan tarif PPN ini juga akan memperburuk daya beli masyarakat menengah ke bawah akibat pandemi Covid-19 yang belum mereda, yang akan dikhawatirkan semakin memberatkan pemulihan perdagangan dalam negeri dalam upaya pemulihan perekonomian Indonesia.
Jadi kebijakan menaikan tarif PPN ini sepertinya perlu ditinjau ulang, bagaimanapun apabila daya beli masyarakat turun maka penerimaan PPN juga turun. Sehingga tujuan dari kenaikan tarif PPN yang semula untuk menambah pemasukan negara justru berubah menjadi penghambat pemulihan ekonomi negara pasca pandemi COVID-19 yang belum kunjung berakhir.
Reference:
- Direktorat Jenderal Pajak. (2007). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007.
- Perpajakan. (2021). Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.