Dalam suatu perjanjian, seringkali kita menemukan pihak-pihak yang melanggar perjanjian dengan cara – cara yang tidak etis, yaitu melakukan apa yang belum dimuat dalam perjanjian tersebut. Meskipun masih ada prestasi (yang harus dipenuhi) dari perjanjian tersebut. Suryawan & Dermawan (2009) menjelaskan bahwa perjanjian dibuat untuk menghindari pengambilan hak dari masing – masing individu baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Namun setiap perjanjian yang dibuat menjadi perikatan dapat dinyatakan batal demi hukum apabila melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada konteks hukum perdata, terdapat 2 bentuk pengajuan gugatan atas pelanggaran perjanjian, yaitu gugatan wanprestasi dan gugatan perbuatan melawan hukum. Seringkali pihak penggugat mencampur antara gugatan perbuatan melawan hukum dengan gugatan wanprestasi, meskipun pada kenyataannya baik wanprestasi maupun perbuatan melawan hukum memiliki perbedaan yang jelas.

Wanprestasi

Wanprestasi atau yang biasa disebut dengan ingkar janji merupakan akibat dari tidak terpenuhinya suatu prestasi (Kamagi, 2018). Sementara Suryawan et al., (2014) menjelaskan bahwa wanprestasi merupakan perbuatan lalai dalam hal pemenuhan prestasi oleh salah satu pihak terhadap pihak lainnya. Menurut Pasal 1234 KUH Perdata, disebutkan bahwa “Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.”. Berdasarkan hal tersebut, terdapat tiga kemungkinan dari wujud prestasi, yaitu:

  1. Memberikan sesuatu sesuai yang diperjanjikan, misalnya menyerahkan benda, maupun membayar harga benda.
  2. Melakukan sesuatu sesuai yang diperjanjikan, misalnya membuat pagar pekarangan rumah, mengangkut barang tertentu, dan menyimpan rahasia perusahaan.
  3. Tidak melakukan sesuatu sesuai yang diperjanjikan, misalnya tidak melakukan persaingan curang, atau tidak menggunakan merek orang lain tanpa ijin.

Selanjutnya ketentuan wanprestasi dapat kita temukan dalam pasal 1243 KUH Perdata. Pada pasal 1243 KUH Perdata berbunyi : “Penggantian biaya, rugi, dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berhutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya”.

Dari isi pasal tersebut, terdapat 3 unsur dari wanprestasi, yaitu:

  1. Ada perjanjian
  2. Ada pihak yang ingkar janji atau melanggar perjanjian
  3. Telah dinyatakan lalai, namun tetap tidak melaksanakan isi perjanjian.

Menurut I Ketut Oka Setiawan, bentuk-bentuk wanprestasi, adalah:

  1. Memenuhi prestasi tetapi melebihi atau tidak sesuai dengan waktu yang disepakati. Dengan kata lain, terlambat melakukan prestasi. Artinya, meskipun prestasi itu diberikan atau dilaksanakan, tetapi tidak sesuai dengan waktu penyerahan dalam perikatan. Prestasi yang demikian itu disebut juga kelalaian.
  2. Tidak memenuhi prestasi atau tidak melakukan apa yang telah diperjanjikan. Artinya, prestasi itu bukan hanya terlambat saja, melainkan juga tidak bisa lagi dijalankan. Hal ini disebabkan karena:
  3. Barang yang diperjanjikan telah musnah sehingga prestasi tidak dapat dipenuhi.
  4. Penyerahan barang dilakukan terlambat melewati dari apa yang diperjanjikan. Sehingga meskipun sudah dipenuhinya suatu prestasi namun prestasi tesebut sudah tidak berguna lagi. Misalnya, pasangan gaun pengantin untuk dipakai pada waktu perkawinan, apabila tidak diserahkan pada waktu sebelum perkawinan, maka penyerahan kemudian tidak mempunyai arti lagi.
  5. Prestasi terpenuhi namun hasilnya tidak sempurna. Artinya, prestasi diberikan atau dilakukan namun tidak sesuai dengan yang diperjanjikan. Misalnya, prestasi mengenai penyerahan 1 truk beras kualitas A, namun yang diserahkan adalah beras yang berkualitas nomor B.

Adati (2018) menjelaskan bahwa timbulnya wanprestasi menjadi alasan penting untuk melakukan gugatan ganti kerugian. Hal tersebut merupakan konsekuensi atau akibat wanprestasi itu sendiri sehingga apabila debitur melakukan wanprestasi, maka ganti kerugian yang diterima oleh kreditur terdiri atas:

  1. Biaya, yaitu biaya-biaya pengeluaran atau ongkos-ongkos yang nyata atau tegas telah dikeluarkan oleh pihak kreditur.
  2. Rugi, yaitu kerugian karena kerusakan atau kehilangan barang dan/atau harta kepunyaan kreditur yang diakibatkan oleh kelalaian debitur.
  3. Bunga, yaitu keuntungan yang seharusnya diperoleh atau diharapkan oleh kreditur apabila debitur tidak lalai dalam melaksanaknnya.

Perbuatan melanggar hukum

Bagus et al., (2016) mendefinisikan perbuatan melanggar hukum sebagai suatu perbuatan yang melanggar norma hukum, melanggar norma hukum disini berarti telah melanggar ketentuan pada perundang-undangan. Suryawan et al., (2014) menjelaskan bahwa Seseorang dapat dikatakan melakukan perbuatan melawan hukum apabila perbuatannya bertentangan dengan hak orang lain, atau bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri, atau bertentangan dengan kesusilaan. Ketentuan terkait perbuatan melawan hukum tercantym dalam pasal 1365 KUH Perdata yang berbunyi: “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian bagi pihak lain, wajib bagi orang tersebut yang karena salahnya untuk mengganti kerugian tersebut”.

Miru & Pati (2008) menjelaskan bahwa secara teoritis, tuntutan ganti kerugian berdasarkan alasan perbuatan melanggar hukum baru dapat dilakukan apabila memenuhi empat unsur di bawah, yaitu:

  1. Adanya perbuatan melanggar hukum
  2. Ada kerugian
  3. Ada hubungan kausalitas antara kerugian dan perbuatan melanggar hukum
  4. Ada kesalahan.

Menurut Fuad (2013) unsur terjadinya perbuatan melanggar hukum terdiri dari adanya kesengajaan, adanya kesadaran ketika melakukannya, dan adanya akibat yang muncul dari perbuatan melanggar hukum. Selain itu, Fuad (2013) menyatakan akibat dari perbuatan melanggar hukum adalah ganti rugi aktual, ganti rugi penghukuman dan ganti rugi nominal bagi pihak yang melakukannya.

Sebagai informasi tambahan, agar berhasil menuntut seseorang atas suatu pelanggaran hukum, penggugat harus dapat menunjukkan bahwa tergugat melakukan pelanggaran dan bahwa setiap unsur hukum telah dilanggar oleh tergugat. Sementara itu, dalam hal wanprestasi, penggugat cukup membuktikan adanya wanprestasi, sedangkan pembuktian, yakni dalil bahwa tidak ada wanprestasi, ditanggung oleh tergugat. Permintaan pemulihan (reestitutio in integrum) hanya dapat diajukan dalam hal perbuatan melawan hukum, sementara dalam perbuatan wanprestasi tidak dapat diajukan pemulihan.

Reference:

  • Adati, M. A. (2018). Wanprestasi Dalam Perjanjian Yang Dapat Di Pidana Menurut Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Lex Privatum, VI(4), 5–15.
  • Bagus, I., Mahardika, B., & Belakang, L. (2016). Perbuatan Melanggar Hukum Oleh Maskapai Penerbangan Terkait Pembatalan Dan Keterlambatan Pengangkutan. Jurnal Pembaharuan Hukum, 3(2), 1–5.
  • Fuad, M. (2013). Perbuatan Melawan Hukum. PT. Citra Aditya Bakti.
  • Kamagi, G. A. (2018). Perbuatan Melawan Hukum (Onrechtmatige Daad) Menurut Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Dan Perkembangannya. Lex Privatum, VI(5), 57–65.
  • Miru, A., & Pati, S. (2008). Hukum Perikatan: Penjelasan Makna Pasal 1233 Sampai 1456 BW. PT Raja Grafindo Persada.
  • Suryawan, I. N., & Dermawan, P. C. H. (2009). Aspek Hukum Dalam Melakukan Perikatan. Jurnal Hukum – Globalisasi Hukum, 7(2), 51.
  • Suryawan, I. N., Widayati, N., Lukito, J., Manajemen, D. J., & Manajemen, D. J. (2014). Wanprestasi Versus Perbuatan Melanggar Hukum. 1–5.

Image Sources: Google Images