Menurut Hardijan Rusli (1996), terdapat empat kelompok sistem hukum yaitu Civil law, Socialist Law, Common Law, dan other conception of Law. Namun hanya dua kelompok hukum yang dominan, yaitu Civil Law dan Common Law. Hal ini sejalan dengan pendapat Satjipto Rahardjo (1991) yang menyatakan bahwa di dunia ini kita tidak menemukan satu sistem hukum saja, melainkan lebih dari satu sistem hukum. Saat ini kita mengenal dua sistem hukum yang berbeda, yaitu Civil Law System untuk yang pertama, dan Common Law System untuk yang kedua.

Sistem Common Law bersumber dari hukum Inggris yang berkembang dari ketentuan atau hukum yang ditetapkan hakim dalam keputusan-keputusannya (judge made law). Kata Common Law ini berasal dari ‘comune, ley’, yang berarti adalah suatu adat kebiasaan (custom) yang bersifat umum bukan hanya adat kebiasaan setempat/lokal (Widodo, 2010).

Sementara Civil Law Sistem mula-mula merupakan sistem hukum Eropa benua atau daratan. Kemudian dianut oleh banyak negara di dunia melalui suatu proses penyebaran tertentu, sehingga negara-negara penganutnya dimasukkan ke dalam kelompok Civil Law System. Modal Civil Law System adalah hukum Romawi-Jerman dan hukum Gerejani yang mengalami evolusi sejak Eropa memasuki zaman Renaisance pada akhir abad XI atau abad XII, dan terus berlangsung sampai zaman Modern (Triningsih, 2015).

Sampai saat ini kedua sistem hukum tersebut cukup menjadi perdebatan sengit diantara para ilmuan. Jeremy Bentham yang kemudian didukung oleh John Austin merupakan Pendukung civil law, dan mereka menganggap bahwa system common law mengandung ketidakpastian dan menyebutnya sebagai “law of the dog” Sebaliknya salah satu pendukung sistem common law, F.V Hayek mengatakan bahwa system common law lebih baik dari pada civil law karena jaminannya pada kebebasan individu dan membatasi kekuasaan pemerintah.

Lalu apa perbedaan antara Civil Law dengan Common Law?

  1. Negara Penganut
    Sistem Civil Law: Roman-Germania
    Sistem civil law berasal dari tradisi Roman-Germania dan negara-negara penganut civil law terdiri dari: Albania, Austria, Belanda, Belgia, Bulgaria, Brasil, Chili, Denmark, Ekuador, Estonia, Finlandia, Indonesia, Jepang, Estonia, Jerman, Kolombia, Kroasia, Latvia, Hungaria, Makau, Angola, Aruba, Mesir, Iceland, Yunani, Afrika Tengah, Kamboja, Iran, Portugal, Polandia, Saudi Arabia, Vietnam, Vatican City, Thailand, Turki.
    Sistem Common Law: Inggris-Amerika
    Sistem common law pertama kali dibawa oleh bangsa Inggris ke Amerika, bukan hukum yang diterapkan di pengadilan kerajaan Inggris melainkan hukum lokal / kebiasaan masyarakat Inggris (Friedmann). Negara-negara penganut common law terdiri dari: Amerika Serikat, Australia, Inggris, India, Hongkong, Republik Irlandia, Kanada, Pakistan, Selandia Baru, Qatar, Oman, Tonga, Uganda, New Zealand, Jamaica, Hongkong, Ghana
  1. Sumber Hukum
    Sistem Civil Law: Adanya sistem kodifikasi
    Menurut Nurul Qamar (2010), sistem civil law menggunakan kodifikasi sebagai sumber hukum. Alasan penggunaan kodifikasi ini antara lain demi kepentingan politik Imperium Romawi, di samping kepentingan-kepentingan lainnya di luar itu. Tidak hanya itu saja, kodifikasi diperlukan untuk menciptakan keseragaman hukum dalam dan di tengah-tengah keberagaman hukum. Selain itu, agar kebiasaan-kebiasaan yang telah ditetapkan sebagai peraturan raja dapat ditetapkan menjadi hukum yang berlaku secara umum. Oleh karena itu diperlukannya suatu kodifikasi hukum pada sistem civil law tersebut.
    Nurhardianto (2015) menjelaskan bahwa hukum civil law adalah hukum memperoleh kekuatan mengikat, karena diwujudkan dalam peraturan-peraturan yang berbentuk undang-undang dan tersusun secara sistematik di dalam kodifikasi. Karakteristik dasar ini dianut mengingat bahwa nilai utama yang merupakan tujuan hukum adalah kepastian hukum. Kepastian hukum hanya dapat diwujudkan kalau tindakan-tindakan hukum manusia dalam pergaulan hidup diatur dengan peraturan-peraturan hukum tertulis. Dengan tujuan hukum itu dan berdasarkan sistem hukum yang dianut, hakim tidak dapat leluasa menciptakan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat umum. Hakim hanya berfungsi menetapkan dan menafsirkan peraturan-peraturan dalam batas-batas wewenangnya. Putusan seorang hakim dalam suatu perkara hanya mengikat para pihak yang berperkara saja (Doktrins Res Ajudicata)
    Sistem Common Law: Yurisprudensi
    Sistem civil law menggunakan yurisprudensi sebagai sumber hukumnya. Soebekti dalam Simanjuntak (2019) menjelaskan bahwa yurisprudensi sebagai putusan-putusan hakim atau pengadilan yang tetap dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung (MA) sebagai pengadilan kasasi, atau putusan-putusan MA sendiri yang tetap (constant). Mahadi dalam Simanjuntak (2019) menguraikan arti yurisprudensi bukan sebagai keputusan-keputusan hakim, bukan pula sebagai “rentetan-rentetan” keputusan, melainkan hukum yang terbentuk dari keputusan-keputusan hakim.
  1. Hakim dalam proses persidangan
    Sistem Civil Law: Hakim tidak terikat kepada preseden atau doktrin stare decisis.
    Pada sistem civil law, hakim tidak terikat kepada presiden atau doktrin stare decisis. Sehingga undang-undang menjadi rujukan hukum yang utama. Penganut sistem Civil Law memberi keleluasaan yang besar bagi hakim untuk memutus perkara tanpa perlu meneladani putusan-putusan hakim terdahulu. Yang menjadi pegangan hakim adalah aturan yang dibuat oleh parlemen, yaitu undang-undang (Lemek, 2007).
    Sistem Common Law: Dianutnya doktrin Stare Decicis/Preseden
    Pada sistem common law dianut doktrin stare decicis/preseden yang secara substansial bermakna bahwa hakim terikat untuk mengikuti dan/atau menerapkan putusan pengadilan terdahulu baik yang ia buat sendiri atau oleh pendahulunya untuk kasus serupa. Pengadilan yang menganut doktrin ini memiliki otoritas yang bersifat hirarki, artinya pengadilan yang lebih rendah harus mengikuti putusan pengadilan yang lebih tinggi untuk kasus yang serupa (Rif et al., 2020).
  1. Sistem Peradilan
    Sistem Civil Law: Bersifat Inkuisitorial
    Sistem peradilan pada civil law bersifat inkuisitorial yang berarti bahwa hakim mempunyai peran yang besar dalam mengarahkan dan memutus perkara serta hakim bersifat aktif dalam menilai alat bukti).  Pada sistem ini, hakim berusaha untuk mendapatkan gambaran lengkap dari peristiwa yang dihadapainya sejak awal. Sistem ini mengandalkan profesionalisme dan kejujuran hakim. Menurut pengamatan Friedman, hakim di dalam sistem hukum civil law berusaha untuk mendapatkan gambaran lengkap dari peristiwa yang dihadapinya sejak awal. Sistem ini mengandalkan profesionalisme dan kejujuran hakim (Nurhardianto, 2015).
    Sistem Common Law: Menggunakan adversary system
    Sistem peradilan common law menggunakan adversary system yag berarti kedua belah pihak yang bersengketa masing-masing dapat menggunakan lawyernya untuk berhadapan di depan hakim. Para pihak yang bersengketa dapat menyusun strategi sebaik mungkin dan mengemukakan dalil-dalil dan alat-alat bukti sebanyak-banyaknya di pengadilan.

Reference:

  • Hardijan Rusli. (1996). Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law. Pustaka Sinar Harapan.
  • Lemek, J. (2007). Mencari Keadilan: Pandangan Kritis Terhadap Penegakan Hukum DiIndonesia. Galang Press.
  • Nurhardianto, F. (2015). SISTEM HUKUM DAN POSISI HUKUM INDONESIA. Jurnal TAPIS, 11(1).
  • Nurul Qamar. (2010). Perbandingan Sistem Hukum dan Peradilan Civil Law System dan Common Law System.
  • Rif, M., Nursasmita, M. A., Musyarri, F. A., Wahyu, D., & Adi, S. (2020). Law as General Rule or Law as Conglomeration of Legal Decision. 1(7), 47–64.
  • Satjipto Rahardjo. (1991). Ilmu Hukum. PT Citra Aditya Bakti.
  • Simanjuntak, E. (2019). Peran Yurisprudensi dalam Sistem Hukum di Indonesia The Roles of Case Law in Indonesian Legal System. Jurnal Konstitusi, 16(1).
  • Triningsih, A. (2015). Pengadilan Sebagai Lembaga Penegakan Hukum ( Perspektif Civil Law dan Common Law ) Institution ( Perspective of Civil Law and Common Law ).
  • Widodo, E. (2010). Relevansi sistem civil law dan common law dalam pengaturan hukum perjanjian baku di indonesia. Jurnal Syariah Dan Hukum, 2(2), 120–128.

Image Sources: Google Images