Pembubaran Hestatt Bank pada tahun 1974 oleh regulator Jerman menjadi awal mula pembentukan Komite Basel Pengawasan Perbankan (BCBS). Komite yang didirikan oleh gubernur bank sentral dari negara-negara Kelompok Sepuluh (G-10) pada tahun 1975 ini memiliki tujuan utama yaitu memberikan panduan untuk peraturan perbankan (Shakdwipee & Mehta, 2017). Sejauh ini BCBS telah mengeluarkan 3 kesepakatan yang disebut Basel I, Basel II, dan Basel III dengan tujuan untuk meningkatkan kredibilitas perbankan dengan memperkuat pengawasan perbankan di seluruh dunia. Perbedaan utama antara Basel I, Basel II, dan Basel III adalah Basel I dibentuk untuk menentukan rasio minimum modal terhadap aset tertimbang menurut risiko untuk bank, sementara Basel II dibentuk untuk memperkenalkan tanggung jawab pengawasan dan untuk memperkuat persyaratan modal minimum, dan Basel III dibentuk untuk mempromosikan kebutuhan buffer likuiditas (lapisan tambahan ekuitas).

Basel I yang dikeluarkan pada Juli 1988 menetapkan ketentuan umum yang dapat disertakan dalam perhitungan modal minimum yang dipersyaratkan. Latar belakang pembentukan Basel I ini adalah krisis utang yang melanda Amerika Latin pada awal tahun 1980 dimana saat itu rasio modal bank internasional berkurang dari waktu ke waktu. Oleh karena itu pada Basel I ini mengacu pada standar permodalan yang dikenakan pada lembaga kredit dengan ketentuan sebagai berikut:

  • Definisi modal yang terdiri dari modal inti dan modal pelengkap (mewakili hingga 100% dari modal inti)
  • Menentukan bobot risiko aset bank masing-masing: 0% risiko nol, risiko rendah 20%, risiko sedang 50% dan risiko tinggi 100%
  • Menetapkan aset yang termasuk dalam masing-masing kategori risiko
  • Kecukupan modal, yaitu tingkat minimum yang harus dijaga oleh bank, antara modal dan aset yang ditimbang berdasarkan tingkat risiko, nilai minimum indikator ini bervariasi tergantung pada metode perhitungan, artinya minimal 8% ketika menyatakan rasio total modal (modal inti ditambah modal tambahan) dan aset yang ditimbang berdasarkan tingkat risiko atau setidaknya minimal 4% jika dihitung sebagai rasio antara modal inti dan aset yang ditimbang berdasarkan tingkat risiko.

Namun sepanjang penerapan Basel I ini, terdapat beberapa kekurangan antara lain: kurangnya sensitivitas risiko, pengakuan yang terbatas atas agunan, dan cakupan sumber risiko yang tidak lengkap, pendekatan ‘satu untuk semua’ dalam artian persyaratannya hampir sama, apapun tingkat risiko sampai dengan jenis aktivitas bank tersebut (Raluca, 2014). Selain itu Basel I juga mengabaikan pentingnya proses manajemen risiko yang kuat. Oleh karena itu, Komite Basel Internasional untuk Pengawasan Bank mengeluarkan Basel II untuk melengkapi kekurangan yang ada pada Basel I (Atik, 2011).

Tujuan dari dibentuknya Basel II adalah untuk mengganti kebutuhan modal minimum dengan kebutuhan untuk melakukan tinjauan pengawasan terhadap kecukupan modal bank. Basel II yang dibentuk pada tahun 2004 ini berupaya melindungi sistem keuangan dengan lebih berupa menyiapkan persyaratan manajemen risiko dan modal yang ketat yang dirancang untuk meyakinkan bahwa suatu bank memiliki cadangan modal yang cukup untuk risiko yang dihadapinya karena praktik pemberian kredit dan investasi yang dilakukannya. Secara umum, aturan-aturan ini menegaskan bahwa semakin besar risiko yang dihadapi bank, semakin besar pula jumlah modal yang dibutuhkan bank untuk menjaga likuiditas bank tersebut serta stabilitas ekonomi pada umumnya.

Basel II didasarkan pada pendekatan 3 pilar untuk manajemen risiko yang terdiri dari:

Pilar pertama berkaitan dengan pemeliharaan atas persyaratan modal (regulatory capital) minimal 8% yang diperhitungkan untuk tiga komponen utama risiko yang dihadapi bank yaitu risiko pasar, risiko kredit, serta risiko operasional. Sementara untuk jenis risiko lain tidak dianggap layak diperhitungkan pada tahap ini. Seperti yang kita ketahui bahwa risiko kredit dapat dihitung dengan tiga cara yang berbeda sesuai dengan tingkat kerumitannya, yaitu: Pendekatan standar (standardized approach), Foundation IRB (internal rating-based), dan Advanced IRB. Sementara risiko operasional dihitung dengan tiga pendekatan yaitu pendekatan dasar (basic indicator approach, BIA), pendekatan standar (standardized approach, STA), serta advanced measurement approach (AMA). Lalu untuk perhitungan risiko pasar dapat dihitung menggunakan pendekatan VaR (value at risk).

Pilar kedua berkaitan dengan memberikan kerangka kerja untuk menangani semua risiko lain yang mungkin dihadapi bank, seperti risiko hukum, risiko strategik, risiko konsentrasi, risiko likuiditas, risiko sistemik, risiko reputasi,  serta risiko pensiun yang digabungkan menjadi risiko residu.

Pada Pilar ketiga pengungkapan yang harus dilakukan bank menjadi lebih besar. Pilar ketiga ini dirancang untuk memberikan gambaran yang lebih baik bagi pasar mengenai posisi risiko menyeluruh dari bank dan untuk memberikan kesempatan bagi pihak terkait dari bank untuk menangani risiko tersebut dengan sepantasnya.

Namun runtuhnya Lehman Brothers pada tahun 2008 memperjelas adanya kekurangan pada peraturan Basel II. Tidak dijelaskannya risiko bawaan, definisi modal yang tidak jelas dan tidak konsisten, serta perlakuan yang tidak memadai terhadap risiko likuiditas menyebabkan Komite Basel Pengawasan Perbankan (BCBS) mengeluarkan Basel III untuk melengkapi kekurangan dari Basel II.

Basel III dibentuk pada tahun 2010 dengan tujuan memperkuat regulasi, pengawasan, dan manajemen risiko terutama risiko sistemik. Risiko sistemik dapat didefinisikan sebagai risiko terkait dengan keruntuhan atau kegagalan suatu perusahaan, industri, maupun lembaga keuangan atau seluruh perekonomian. Basel III diperkenalkan untuk meningkatkan kemampuan bank dalam menangani guncangan dari tekanan keuangan.

Prinsip Utama Basel III

  1. Persyaratan Modal Minimum
    Kesepakatan Basel III menaikkan persyaratan modal minimum untuk bank menjadi 4.5% dari ekuitas biasa, sebagai persentase dari aset tertimbang menurut risiko bank. Selain itu terdapat persyaratan modal penyangga tambahan 2,5% yang menjadikan total persyaratan minimum menjadi 7%.
  1. Rasio Leverage
    Pada Basel III ini diperkenalkan juga rasio leverage non-risiko yang berfungsi sebagai backstop untuk persyaratan modal berbasis risiko. Ketentuan lainnya adalah setiap Bank wajib memiliki rasio leverage lebih dari 3%. Perhitungan rasio leverage non-risiko dapat dilakukan dengan membagi modal Tier 1 dengan rata-rata total aset konsolidasi bank.
  2. Persyaratan Likuiditas
    Pada Basel III ini juga diperkenalkan dua rasio likuiditas yaitu Rasio Cakupan Likuiditas dan Rasio Pendanaan Stabil Bersih. Rasio Cakupan Likuiditas mengharuskan bank untuk memiliki aset yang sangat likuid dalam jumlah yang cukup yang dapat menahan skenario pendanaan stress 30 hari seperti yang ditentukan oleh pengawas. Sementara Rasio Cakupan Likuiditas diperkenalkan pada tahun 2015 dengan ketentuan hanya 60% dari persyaratan yang dinyatakan dan diharapkan meningkat sebesar 10% setiap tahun hingga 2019 ketika berlaku penuh.

Reference:

  • Raluca, I. (2014). International Concerns for Evaluating and Preventing The Bank Risks – Basel I Versus Basel II Versus Basel III. Procedia Economics and Finance, 16(May), 336–341. https://doi.org/10.1016/S2212-5671(14)00811-9
  • Shakdwipee, P., & Mehta, M. (2017). From Basel I to Basel II to Basel III From Basel I to Basel II to Basel III. International Journal of New Technology and Research (IJNTR), 3(1), 66–70.

Image Sources: Google Images