Perkembangan bisnis online di Indonesia terbilang cukup pesat. Berdasarkan data dari Bank Indonesia, jumlah transaksi e-Commerce di Indonesia pada tahun 2021 mencapai Rp. 403 triliun atau mengalami peningkatan sebesar 31.4% jika dibandingkan dengan tahun 2020. Pesatnya perkembangan bisnis online ternyata diikuti dengan bermunculannya beberapa profesi baru, diantaranya adalah dropshipper dan reseller.

Dropshipper dan reseller merupakan sebuah konsep yang sangat penting pada dunia e-commerce dan marketplace. Dropshipper hanya bertugas memasarkan barangnya saja. Dalam artian, dropshipper tidak perlu memasok barang apalagi melakukan pengemasan dan pengiriman ke pembeli. Keuntungan menjadi dropshipper diperoleh dari selisih harga antara harga grosir dan harga eceran. Namun biasanya keuntungan menjadi dropshipper tidak sebesar ketika menjadi reseller.

Berbeda dengan dropshipper, reseller harus melakukan pembelian barang dalam jumlah yang banyak dengan tujuan agar harga barang yang diperoleh lebih kompetitif sehingga selisih pembelian dan penjualan (keuntungan) yang didapat menjadi lebih besar. Namun reseller bukan menjadi bagian dari supplier atau produsen. Hal ini karena sistem kerja reseller adalah membeli barang dan membuat stok barang, baru kemudian menjualnya kepada konsumen. Sementara tugas pengiriman barang ke konsumen juga dilakukan oleh pihak reseller, bukan supplier.

Lalu bagaimana perlakuan pajak untuk dropshipper dan reseller?

Karena dropshipper dan reseller merupakan jenis usaha yang menghasilkan keuntungan, maka kedua kegiatan tersebut tidak luput dari aturan perpajakan di Indonesia. Beberapa jenis pajak yang berkaitan dengan dropshipper dan reseller adalah sebagai berikut:

  1. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
    Para pelaku reseller dan dropshipper baru akan dikenakan PPN apabila sudah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP). Adapun syarat menjadi PKP adalah memiliki omzet lebih dari Rp. 4.8 miliar dalam setahun. Reseller dan dropshipper yang sudah dikukuhkan menjadi PKP wajib membayar serta memungut PPN atas setiap transaksinya yaitu saat membeli barang dari produsen maupun ketika menjualnya ke konsumen. Ketika membeli barang dari produsen, reseller akan mendapatkan faktur pajak dan wajib membayar PPN dari setiap transaksi yang dilakukan.

Sebagai contoh:

  1. Treasure Lighting merupakan reseller dari PT. Sumber Bersinar yang sudah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) sejak tahun 2020. PT. Treasure Lighting melakukan pembelian 1 unit lampu kepada PT. Sumber Bersinar senilai Rp 20 juta. Atas transaksi ini, PT. Treasure Lighting dikenakan pungutan PPN sesuai tarif yang berlaku, yakni 11%. Sehingga, harus membayar kepada PT. Sumber Bersinar sebesar Rp 22.200.000

    Rp 20.000.000 + (Rp 20.000.000 x 11%) = Rp 22.200.000

    Ketika PT. Treasure Lighting menjual lampu tersebut kepada konsumen dengan harga Rp. 25 juta, maka PT. Treasure Lighting harus memungut PPN sebesar 11% dari harga jual. Ini membuat konsumen harus membayar sebesar Rp 27.750.000

    Rp 25.000.000 + (Rp 25.000.000 x 11%) = Rp 27.750.000

    Saat PT. Treasure Lighting membayar dan melaporkan PPN, perusahaan dapat melampirkan faktur pajak yang diterbitkan PT. Sumber Bersinar, yang menyatakan bahwa pihaknya telah membayar pajak sebesar Rp 2.200.000.

    PPN tersebut dapat menjadi pengurang untuk pembayaran pajak atas penjualannya ke konsumen. Maka, PPN terutang yang harus disetorkan PT. Treasure Lighting kepada pemerintah adalah sebesar Rp 550.000. Jumlah ini berasal dari pengurangan PPN barang yang dijual ke konsumen sebesar Rp 2.750.000, dengan PPN yang dibayarkan PT. Treasure Lighting ke PT. Sumber Bersinar sebesar Rp 2.200.000.

    Rp 2.750.000 – Rp 2.200.000 = Rp 550.000

  1. PPh
  • Badan Usaha
    Apabila reseller dan dropshipper berbentuk badan usaha (PT), maka akan dikenakan tarif PPh sebesar 20% dari penghasilan kena pajak. Besaran tarif ini sudah mengalami penurunan jika dibanding tahun 2020 yang mencapai 25% dari penghasilan kena pajak.
  • Perorangan
    Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu, apabila reseller atau dropshipper berbentuk usaha perorangan dengan omzet dibawah 4.8 miliar dalam setahun, maka ketentuan PPh yang dikenakan adalah PPh Final dengan besaran tarif 0,5% setiap bulannya.
    Namun, pada Pasal 7 Ayat (2a) UU Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau UU HPP dijelaskan bahwa apabila omzet reseller atau dropshipper kurang atau baru mencapai Rp 500 juta, maka tidak akan dikenakan PPh Final.
    Sebagai contoh : A merupakan seorang reseller dengan omzet kumulatif dari Januari hingga Mei 2022 kurang dari Rp 500 juta. Maka A tidak dikenakan PPh Final sampai omzetnya melebihi Rp. 500 juta. Apabila di bulan Juni – Desember 2022 omzet A mencapai 700 juta, maka A akan dikenakan PPh Final UMKM sebesar 0,5% dari omzet setiap bulannya. Maka, total PPh Final yang dibayarkan oleh A selama 2022 semenjak diberlakukannya UU HPP adalah sebesar Rp 3,5 juta.
    Rp. 700.000.000 x 0.5% = Rp 3.5 juta
    Namun perlu diingat bahwa kemudahan berupa PPh Final ini tidak akan selamanya berlaku. Karena masa berlaku pengenaan PPh Final untuk wajib pajak perorangan hanya tujuh tahun dari diterbitkannya PP Nomor 23 tahun 2018 yaitu berakhir pada 2024. Sehingga pada tahun 2025 berlaku kembali tarif pada Pasal 17 Ayat (1a) UU HPP.

Reference:

  • H. Bima Prabowo, Ery Agus Priyono, “Diponegoro law journal,” Diponegoro Law J., vol. 5, no. 3, pp. 1–13, 2017.
  • S. A. Dzikrulloh, S. E. I., “Jual Beli Dropshipping dalam Bisnis Online,” Anim. Genet., vol. 39, no. 5, pp. 561–563, 2018
  • Pemerintah Indonesia. 2018. Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu. Peraturan Pemerintah Tahun 2008, No. 23. LN.2018/NO.89, TLN NO.6214, LL SETKAB : 10 HLM.
  • Pasal 17 Ayat (1a) UU HPP
  • Pasal 7 Ayat (2a) UU Nomor 7 tahun 2021

Image Sources: Google Images