Kecurangan laporan keuangan dewasa ini makin marak terjadi, bukan hanya diseluruh dunia, namun juga di Indonesia. Disinyalir dari (ACFE, 2022) disebutkan bahwa meskipun dibandingkan dengan penyalahgunaan asset dan korupsi, jumlah kasus kecurangan laporan keuangan adalah yang paling sedikit, namun jumlah kerugiannya adalah yang paling besar. Sebab pihak yang dirugikan dalam kecurangan laporan keuangan sangat banyak, mulai dari manajemen dan karyawan perusahaan tersebut, bank dan kreditor yang memberikan modal kerja dan juga para investor dan pemegang saham

Mengapa masalah kecurangan laporan keuangan ini terjadi? (Albrecht et al., 2019) mengemukakan 9 elemen yang membuat kecurangan laporan keuangan ini terjadi yang disebut the perfect storms yaitu:

  1. A Booming Economy
  2. Decay of Moral Values
  3. Misplaced Incentives
  4. High Analysts’ Expectations
  5. High Debt Levels
  6. Focus on Accounting Rules Rather Than Principles
  7. Lack of Auditor Independence
  8. Greed
  9. Educator Failures

Penjelasan dari kesembilan faktor tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Situasi Ekonomi yang Booming Situasi ekonomi yang meningkat tajam mendorong perusahaan untuk lebih optimis dan berusaha membuka kesempatan untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya dari ekonomi yang booming tersebut.
  2. Rusaknya nilai moral. Secara umum nilai-nilai moral yang ada di masyarakat memang diyakini sudah makin meluntur. Hal tersebut dilihat dari perkembangan situasi di mana semakin banyak anakanak di sekolah atau perkuliahan yang melakukan kecurangan dengan cara mencontek, menjiplak karya orang lain dan tidak jujur dalam menjalankan perkuliahan
  3. Insentif yang tidak tepat. Hal ini merujuk pada pemberian insentif yang berlebihan pada eksekutif di managemen perusahaan. Kebanyakan eksektuif perusahaan yang melakukan kecurangan, dijanjikan banyak insentif dan imbalan yang luar biasa besar, jika perusahaan yang mereka pimpin memiliki kinerja yang baik.
  4. Harapan yang tinggi dari analis saham. Ukuran kinerja perusahaan terkadang tidak hanya berdasarkan atas capaian laporan keuangan (apakah perusahaan mencapai target laba misalnya), tapi juga berdasarkan atas kinerja harga saham perusahaan tersebut di bursa saham.
  5. Tingkat hutang yang tinggi. Perusahaan yang memiliki hutang/pinjaman kepada pihak ketiga sangat besar, memiliki tekanan yang luar biasa untuk mencatat pendapatan yang tinggi – agar bisa melebihi beban biaya bunga pinjaman yang harus dibayarkan, memenuhi persyaratan perjanjian hutang (debt covenant) yang ditetapkan oleh kreditor
  6. Fokus pada accounting rules dibandingkan principles standar akuntansi yang terlalu rinci (rule-based) mengatur perlakuan akuntansi membuat banyak perusahaan berfokus untuk “mengakali” aturan yang telah ditentukan tersebut agar bisa mencapai tujuan keuangan yang diinginkan oleh perusahaan.
  7. Kurangnya independensi Auditor Beberapa kantor akuntan publik (auditor) mengorbankan independensinya dengan menjadi konsultan bagi klien yang diauditnya. Faktanya, dalam beberapa situasi bayaran yang didapatkan untuk menjadi konsultan lebih besar dibandingkan dengan bayaran audit sendiri. Selanjutnya banyak kantor akuntan publik yang menjadi advisor dibandingkan menjadi auditor perusahaan tersebut.
  8. Keserakahan Keserakahan menjadi faktor selanjutnya. Keserakahan atau sifat yang tidak pernah puas ini dialami oleh eksekutif perusahaan, investment bank, bank komersial, perusahaan pemeringkat kredit dan investor. Pihak-pihak tersebut mendapatkan banyak keuntungan dari perkembangan ekonomi yang booming dan transaksi-transaksi keuangan yang melibatkan mereka.
  9. Kegagalan para Pengajar/Akademis Pengajar/akademisi dikritik tidak memberikan pengetahuan dan pemahaman yang cukup tentang etika dan kejujuran bagi para mahasiswanya. Banyak mahasiswa yang tidak mempelajari dan tidak dipaksa mempelajari dilemma etika yang sesungguhnya akan dihadapi mereka di dunia kerja nanti.

Demikianlah faktor-faktor yang menyebabkan bertumbh kembangnya kasus kecurangan laporan keuangan. Faktrnya cukup banyak dan bervariasi, mulai dari situasi ekonomi sampai dengan kegagalan pendidik.

Reference:

  • ACFE (2022) ‘Occupational Fraud 2022: A Report to The Nations’, Acfe, pp. 1–96.
  • Albrecht, W. S. et al. (2019) Fraud Examination. 6th edn. Mason, Ohio: Cengage Learning.

Image Sources: Google Images