Tantangan pertama yaitu tantangan iklim, yang dirangkum dalam Perjanjian Paris tahun 2015 (Perjanjian global tentang pengurangan perubahan iklim yang dinegosiasikan dalam United Nations Climate Change Conference tahun 2015— COP21), dimana dalam konferensi tersebut disepakati untuk membatasi pemanasan global hingga maksimal 2 derajat di atas era pra industri. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, pemerintah, LSM dan bisnis secara kolaboratif sepakat untuk mengatasi tantangan iklim. Hal ini membangkitkan tindakan nasional dan internasional untuk mengikuti dan memahami bersama-sama tentang urgensi masalah tersebut. Oleh karena adanya konsekuensi dan terbatasnya waktu yang tersedia untuk mengatasi perubahan iklim tersebut maka perlu dibuat agenda. Untuk mencapai tujuan yang ditetapkan yaitu membatasi kenaikan suhu global, maka dilakukan pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 45–50% yang diperlukan pada tahun 2030. Pada tahun 2050, kegiatan industri harus menunjukkan emisi nol bersih. Dalam laporan Intergovernmental Panel on Climate Change tahun 2018 (IPCC,2018) tentang kecepatan pemanasan global akibat emisi gas rumah kaca, maka kebutuhan akan pengurangan emisi benar-benar dibutuhkan.

Tantangan kedua secara langsung sejalan dengan tantangan iklim: transisi energi membutuhkan peralihan dari sumber energi fosil (gas dan minyak) ke sumber energi berkelanjutan (termasuk energi matahari dan angin, hydrogen dan biogas). Target nasional Belanda adalah 16% energi terbarukan pada tahun 2023, saat ini dalam proses sepenuhnya untuk memberantas bahan bakar fosil pada tahun 2050. Di Eropa, target mereka adalah menjadi benua yang netral CO2 pada tahun 2050. Terdapat banyak masalah rumit yang terlibat, sehingga tidak akan tercapai tanpa perjuangan. Namun, melanjutkan ekonomi yang ketergantungan pada bahan bakar fosil tidak lagi menjadi proposisi yang layak di masa depan sehingga perubahan harus dilakukan meskipun secara teknis, sosial dan ekonomi akan terasa sulit.

Tantangan ketiga adalah mengejar ekonomi sirkular: ekonomi loop material tertutup, berdasarkan kebijakan yang diprakarsai oleh pemerintahan Rutte kedua (kabinet pemerintah Belanda dari tahun 2012 hingga tahun 2017), tetapi sebenarnya didorong oleh kebijakan UE. Targetnya adalah untuk mencapai pengurangan penggunaan bahan alam secara proporsional yaitu 50% pada tahun 2030 dan 100% pada tahun 2050. Sekarang diakui secara luas bahwa agenda untuk rendah karbon secara fundamental terkait dengan agenda ekonomi sirkular sehingga menjadikan peningkatan ekonomi sirkular sebagai imperatif (De Wit et al., 2019; Ekonomi Material, 2018). Apakah itu dapat sepenuhnya dicapai? Hal ini masih harus dipelajari lebih lanjut. Semua sumber daya memiliki rentang hidup yang berbeda. Seperti masa pakai botol plastik mungkin beberapa minggu, namun butuh 30-50 tahun untuk dapat terurai. Oleh karena itu, penggunaan sumber daya, komponen dan produk lainnya memerlukan cara pengorganisasian yang berbeda.

Sumber:

  • J. Jonker and N. Faber, Organizing for Sustainability, https://doi.org/10.1007/978-3-030-78157-6_1
  • IPCC. (2018). Global warming of 1.5°C: An IPCC Special Report on the impacts of global warming of 1.5°C above pre-industrial levels and related global greenhouse gas emission pathways, in the context of strengthening the global response to the threat of climate change, sustainable development, and efforts to eradicate poverty. Intergovernmental Panel on Climate Change. http://www.ipcc.ch/report/sr15/.
  • De Wit, M., Verstraeten-Jochemsen, J., Hoogzaad, J., & Kubbinga, B. (2019). Circularity Gap Report 2019: Closing the circularity gap in a 9% world. Retrieved on 24 September 2020 from:docs.wixstatic.com/ugd/ad6e59_ba1e4d16c64f44fa94fbd8708eae8e34.pdf.
  • Material Economics. (2018). The circular economy: A powerful force for climate mitigation. Material Economics. https://materialeconomics.com/material-economicsthe-circular-economy.pdf?cms_fileid=340952bea9e68d9013461c92fbc23cae.

Image Sources: Google Images