Triple Bottom Line atau yang sering disingkat sebagai TBL merupakan salah satu konsep yang begitu erat kaitannya dengan pembangunan. Tetapi dalam konteks aplikasinya, konsep TBL ini menjadi pendekatan yang menjelma sebagai parameter perusahaan dalam melakukan kegiatan produksinya. Orientasi yang menjadi prinsip dari operasional perusahaan adalah keuntungan. Karena hal ini, perusahaan cenderung mendiskreditkan faktor dan dampak negatif dari proses implementasi yang dilakukan secara masif. Dampak negatif yang lahir dari kegiatan industri terhadap lingkungan cukup variatif. Mulai dari pencemaran lingkungan hidup, pemanasan global, deforestasi, rusaknya sumber daya alam, hingga area resapan air yang berkurang.

Atas dasar hal ini, muncul suatu konsepsi yang bernama Triple Bottom Line atau TBL yang menjadi acuan bagi perusahaan untuk melangsungkan kegiatan industrialisasinya. Konsep TBL ini secara cepat merangsang berbagai stakeholder untuk akhirnya mengejawantahkan di dalam perusahaan. Konsep TBL ini pertama kali digagas oleh John Elkington dalam (Jeurissen and Elkington, 2000). Pada waktu itu konsep TBL dianggap sebagai terobosan baru yang menggugah ruang akademis maupun kalangan praktisi (bisnis). Sehingga pada ilmu mengenai development studies dan economic development, konsep TBL dikaji secara mendalam dengan analisis yang semakin berkembang. TBL terdiri dari tiga faktor yaitu: People, Planet, dan Profit.

People merujuk kepada perusahaan harus peduli kepada masyarakat dengan memberikan berbagai program akomodatif dengan tujuan meningkatkan kompetensi dan kesejahteraan bagi masyarakat sekitar. Planet berbicara tentang bahwa untuk mencapai pembangunan berkelanjutan, maka saat ini perusahaan harus memperhatikan aspek lingkungan hidup ditengah kegiatan produksinya. Profit mengacu kepada menekankan pada keuntungan yang maksimal harus memperhatikan aspek efisiensi biaya, feromasi birokrasi, hingga pembenahan dari segi manajemen internal.

Dalam perkembangannya TBL berevolusi menjadi Quadruple Bottom Line (Sachit and Tulchin, 2014), yaitu dengan tambahan satu factor P lagi yaitu Purpose. Purpose atau dapat diartikan sebagai tujuan atau motif. Dengan menempatkan motif setara dengan tujuan bisnis lainnya, quadruple bottom line menciptakan rasa kemajuan yang memiliki tujuan. Bagi banyak pemilik bisnis, tujuan ini divalidasi dengan membawa kebahagiaan bagi pemangku kepentingan yang mereka layani. Meningkatkan empati dengan pelanggan dan karyawan. Memenuhi kebutuhan budaya dalam masyarakat luas. Meningkatkan keterkaitan melalui tindakan amal atau ekologis.

Dengan menyatukan people, planet, dan profit bersama dengan purpose menunjukkan dorongan perusahaan untuk meningkatkan kehidupan dan membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik. Semuanya itu dapat meningkatkan nilai humanis bisnis. Intinya quadruple bottom line bukan hanya pengingat pentingnya tentang mengapa perusahaan melakukan apa yang perusahaan lakukan saat ini. Hal ini menyoroti nilai perubahan menjadi lebih baik. Dengan menganut konsep ini, perusahaan dapat lebih menentukan tujuan inti bisnis Anda bagi calon investor dan memposisikan perusahaan untuk pembangunan yang lebih berkelanjutan.

Referensi:

  • Jeurissen, R. and Elkington, J. (2000) ‘Cannibals With Forks: The Triple Bottom Line of 21st Century Business’, Journal of Business Ethics, 23(2), pp. 229–231. doi: 10.1023/A:1006129603978.
  • Sachit, S. and Tulchin, D. (2014) ‘Quadruple bottom line’, Social Enterprise Associates, p. 2. Available at: http://upspringassociates.com/wp-content/uploads/2014/09/TipSheet13QBL.pdf.

Image Sources: Google Images