Perkembangan perekonomian dapat terlihat dengan adanya peranan besar dari dunia industri yang berlomba dalam menghasilkan nilai tambah sebagai salah satu keunggulan dalam daya saing secara global. Seperti hal nya yang disampaikan oleh Wang et al., (2016) bagaimana kemajuan performa perusahaan merefleksikan sikap dari para pemimpin dalam mengatur dan mengelola operasional bisnis selaras dengan tujuan yang ingin dicapainya. Untuk dapat mencapai tujuan, pemimpin membutuhkan banyak informasi dan pertimbangan sebagai dasar dalam pengambilan keputusan untuk memastikan bahwa strategi yang telah dirancang dapat menghantarkan kesuksesan kepada perusahaan, dengan memanfaatkan sumber daya seoptimal mungkin untuk mendapatkan laba yang maksimal. Hanya saja, seiring dengan berjalannya waktu, organisasi akan selalu dihadapi dengan risiko yang menggoyahkan stabilitas organisasi apabila tidak memiliki ketahanan yang kuat. Banyak tantangan dan ancaman yang terus dihadapi perusahaan, yang dengan demikian membutuhkan penilaian risiko yang akurat untuk membantu mengevaluasi kinerja dan meminimalisir hal yang tidak diinginkan, seperti salah satunya adalah kecurangan.

Kecurangan dapat terjadi oleh siapapun dan dinamapun, selama pelaku memiliki niat dan perilaku untuk melancarkan aksi kejahatannya yang merugikan berbagai kalangan pihak pemangku kepentingan. Melansir dari laporan yang dikemukakan oleh Association of Certified Fraud Examiners (ACFE, 2020) tingkat kejahatan terus berkembang semakin pesat dan peristiwa tersebut terjadi di banyak negara. Keinginan kuat untuk mencapai tujuan secara instant, mendapatkan keuntungan tersendiri, hingga memenuhi kepuasan masing-masing, mendorong para pelaku untuk melakukan kejahatan yang disengaja. Dalam penelitian yang dikemukakan ACFE, (2020) melihat bagaimana skema-skema kecurangan sangat beragam dan bercabang, dengan menginduk kepada tiga unsur utama, yaitu asset missapropriation, corruption, dan fraudulent statement.

Dalam buku Fraud Auditing and Forensic Accounting Edisi Keempat oleh Singleton & Singleton, (2010) dengan mengacu kepada laporan ACFE, menuliskan bahwa skema kecurangan yang dilakukan pelaku mengundang terjadinya red flags dalam operasional maupun penyajian informasi keuangan, dimana pada masing-masing unsur kecurangan, terindikasi setiap perbuatan yang berbeda, dimana pada fraudulent statement terdapat beberapa hal, yaitu:

  1. Timing Differences: Perbedaan rentang waktu dapat mengakibatkan kecurangan dengan memanfaatkan waktu pengakuan pendapatan maupun beban yang terjadi berdekatan kepada akhir periode. Hal ini dapat terlihat dari adanya hubungan transaksi kedua pihak, seperti kerjasama konsinyasi antara pemasok dengan pengecer. Selain itu, pengakuan biaya dapat diilustrasikan dalam contoh biaya transportasi barang (freight cost) dengan menggunakan metode shipping atau destination point, dimana apabila terdapat biaya pengantaran dengan meletakan pembebanan kepada penjual ataupun pembeli, hal tersebut perlu dilihat pada jenis metode apa yang digunakan, sehingga tidak membingungkan auditor saat melacak waktu pergantian kepemilikan barang. Lalu untuk pengakuan pendapatan, dapat dilihat dalam revenue recognition.
  2. Fictious Revenues: Fenomena ini terjadi akibat peningkatan penjualan fiktif yang mengoverstate kan tingkat penjualan perusahaan. Pada hal ini, pihak akuntan dengan penjual dapat menciptakan data atau invoice palsu dari supplier fiktif agar meningkatkan keyakinan dan jaminan terhadap penyajian laporan keuangan. Selain itu, dengan wewenang pemimpin yang memanfaatkan tanda tangannya saat membuat sales invoice, dapat mendukung bahwa pengedaran invoice tersebut sudah valid hingga sampai kepada pemimpin perusahaan. Contoh pada kasus ini adalah Equity Funding yang telah melakukan skandalisasi dengan menciptakan sebuah pendapatan fiktif yang meningkatkan penjualan dengan piutang usaha (AR). Setelah 7 tahun berlangsung, pada tahun 1973, terungkap bahwa seluruh data piutang yang dimiliki adalah palsu.
  3. Concealed in Financial Statement: Perusahaan mengurangi tingkat hutang (account payable / notes payable) untuk memperlihatkan kemampuan entitas yang solvency seiring dengan berjalannya waktu. Selain itu, dengan menciptakan dokumen palsu dengan memperlihatkan pengalokasian dana secara efektif dalam perusahaan. Salah satu contoh dari laporan ACFE, (2020) adalah bahwa terdapat 40% yang membuat dokumen fisik secara palsu, dengan 27% menggunakan dokumen electronic. Hal ini selaras dengan ECIIA, (2019) akan bagaimana peranan teknologi dapat menjadi faktor risiko utama yang mengundang kecurangan apabila jatuh ketangan yang salah.
  4. Understatement Cost: Peristiwa yang terjadi dalam pencatatan laporan keuangan dengan meminimalisir biaya pengeluaran dalam rangka memaksimalkan pendapatan dan menunjukan kapabilitas perusahaan bahwa mereka mampu menekan zero waste saat memproduksi suatu barang sesuai jumlah unit yang diminta pelanggan.
  5. Improper Disclosure and Asset Valuation: Menyajikan double / triple book entry yang bertujuan untuk memproyeksikan pergerakan perusahaan yang wajar dan tinggi (pelaku akan menutup tindakan kecurangannya). Selain itu, dengan meningkatkan asset yang dimiliki (Piutang, persediaan barang, peralatan, kapitalisasi beban (capitalization expense)). Hal ini bertujuan untuk memperlihatkan daya pengelolaan yang efektif dengan mengalokasikan sumber daya secara efisien sesuai permintaan pasar. Contoh kasus pada poin ini adalah Worldcomm yang mengakui leasing telephone sebagai bagian dari asset perusahaan kepada akuntan dan eksternal auditor.

Kemudian terdapat corruption yang melibatkan 2 pihak atau lebih untuk mencapai tujuannya secara tersendiri. Berdasarkan data dari ACFE, (2008), pelaku kecurangan dalam melaksanakan aksinya, terdapat 27.4% melakukan korupsi yang menyebabkan rata-rata kerugian sebesar $375,000. Dalam buku yang dituliskan oleh Singleton & Singleton, (2010) terdapat beberapa skema korupsi yang terjadi dalam dunia industri, yaitu:

  1. Conflict of Interest: Adanya kepentingan pribadi dengan memanfaatkan hubungan relasi. Sebagai contoh, sebelum diaudit, divisi penjualan akan menemui auditor, dimana auditor tersebut merupakan kenalannya, sehingga hal ini berpotensi dapat mempengaruhi jalannya kegiatan audit pada divisi tersebut.
  2. Bribery: Memberikan atau menerima suap. Pada poin ini mempengaruhi keputusan bisnis, khususnya yang terjadi di dunia politik saat berlangsungnya sidang.
  3. Illegal Gratitude: Mirip dengan kasus Bribery, tetapi barang diberikan setelah kerjasama bisnis selesai (tidak mempengaruhi keputusan bisnis).
  4. Economic Extorsion: Tenaga kerja yang meminta harga penawaran tinggi kepada vendor.

Terakhir, dalam aspek Fraud Tree yaitu asset missapropriation, dikatakan bahwa tingkat kejahatan ini paling sering dilakukan oleh karyawan dengan melihat tingkat risiko yang dihasilkan kepada perusahaan bersifat kecil (ACFE, 2020). Dalam hal ini, terdapat beberapa tindakan yang dilakukan untuk mendapat apa yang diinginkan melalui asset missapropriation, yaitu:

  1. Pencurian dan penggelapan cash.
  2. Menyajikan data fiktif atau duplikasi (Nama karyawan yang terdata double pada dua divisi yang berbeda, dimana hal ini dapat mempengaruhi ke gaji yang masuk ke rekening pelaku).
  3. Mengubah data kehadiran secara illegal.
  4. Commission schemes
  5. Expense reimbursement schemes
  6. Skimming and Larceny

REFERENSI

  • Association of Certified Fraud Examiners (ACFE). (2020). Report to the nations on occupational fraud and abuse: 2020 global fraud study. Acfe, 88.
  • ECIIA. (2019). Risk in focus 2020: Hot Topics For Internal Auditors. 43.
  • Singleton, T. W., & Singleton, A. J. (2010). Fraud Auditing and Forensic Accounting. New Jersey: John Wiley, Inc.
  • Wang, G., Holmes, R. M., Oh, I. S., & Zhu, W. (2016). Do CEOs Matter to Firm Strategic Actions and Firm Performance? A Meta-Analytic Investigation Based on Upper Echelons Theory. Personnel Psychology. https://doi.org/10.1111/peps.12140

Image Sources: Google Images