Pada umumnya, organisasi membutuhkan pemimpin yang bertindak sebagai pengelola dengan mengarahkan setiap progress dengan efektif untuk mencapai tujuan serta mendapatkan keuntungan secara jangka panjang. Pemimpin harus dapat mengambil tindakan yang tepat, dimana suatu perusahaan tidak bisa hanya terfokus untuk mendapatkan keuntungan, melainkan bagaimana perusahaan harus dapat menjamin keharmonisasi dari kehidupan karyawan dan menjaga kepercayaan pemangku kepentingan yang menaruh kepercayaan terhadap perusahaan. Tentunya dalam rangka mencapai hal tersebut, para pemimpin selaku top management perusahaan selalu dihadapi oleh berbagai rintangan dan tantangan yang dapat menjadi ancaman dikemudian hari apabila tidak dapat ditanggulangi dengan baik.

Tantangan yang dihadapi pemimpin bukan hanya sekedar menjaga operasional dan produktivitas untuk dapat berjalan dengan efektif dan sesuai kepada aturan serta kode etik yang berlaku, melainkan bagaimana tantangan utama yang dihadapi oleh pemimpin adalah diri sendiri dan setiap individu yang merupakan bagian dari dalam struktur kepemimpinan tersebut yang berpotensi menjadi ancaman bagi perusahaan. Sebagaimana yang tertulis dalam teori manajemen oleh Hambrick & Mason, (1984) bahwa perusahaan merefleksikan sikap karakteristik seluruh pemimpin mulai dari cara mereka bertindak, menyikapi permasalahan, hingga menunjukan performa secara professional tanpa melibatkan keinginan tertentu. Tantangan perbedaan tersebut dapat terlihat dari beberapa kategori aspek yang diawali dari setiap individu, dimana mereka dituntut untuk dapat menyikapinya secara positif dan terbuka agar dapat menerima satu sama lain. Kategori tersebut terdiri dari:

  1. Educational and Functional Background:
    Membicarakan aspek latar belakang, tentu bersifat sangat meluas, karena setiap manusia memiliki latar belakang, asal muasal, dan perilaku yang berbeda, sehingga pada bagian ini akan terfokus kepada latar belakang pendidikan. Menurut saya, latar belakang pendidikan sangat mempengaruhi para individu dalam bertindak dan berpikir, dimana dengan semakin tinggi jenjang pendidikan yang diperoleh oleh individu, memiliki pengetahuan dan wawasan yang lebih luas daripada mereka yang memiliki tingkat pendidikan rendah. Sebagai contoh, dalam Finkelstein & Hambrick, (1997) menjelaskan bagaimana dengan adanya tingkat pendidikan tinggi, menunjukan kualitas mutu yang lebih baik dalam mengarahkan kinerja perusahaan, sehingga hal tersebut akan berdampak terhadap gaya kepemimpinan yang mempengaruhi seluruh tenaga kerja dalam melaksanakan kegiatan operasional. Selain itu, adanya tingkat pendidikan yang tinggi juga mendorong pola pikir, penalaran, dan kecerdasan yang terbentuk berdasarkan materi teori yang didapatkan untuk dikombinasikan dengan kejadian secara real di dunia nyata. Hanya saja, menurut saya membicarakan kecerdasan secara khususnya, tentu setiap manusia memiliki pemikiran logis yang berbeda. Tingkat pendidikan tinggi merupakan kelebihan yang dimiliki untuk dijadikan sebagai prestige saat membangun branding dan networking, tetapi bagaimana manusia dapat memecahkan permasalahan secara logis ditengah perubahan yang tidak menentu, membutuhkan keberanian dan kecekatan untuk secara cepat mengambil keputusan, dimana hal tersebut belum tentu diajarkan pada dunia pendidikan. Pada akhirnya semua kembali ke masing-masing pihak, apakah mereka berinisiatif mengumpulkan informasi dan membangun sebuah kerangka pemikiran yang handal untuk diterapkan tanpa memiliki jenjang pendidikan tinggi, atau mereka tidak mampu keluar dari zona nyaman dan tidak berniat mengeksplorasi lebih dalam karena sudah merasa memiliki tingkat ilmu yang matang dalam menjalani bisnis.
  2. Industrial Experience:
    Ada yang mengungkapkan dengan memiliki waktu jam terbang yang tinggi membuat seseorang menjadi lebih bijak dalam menghadapi masalah dan mengetahui langkah selanjutnya yang dapat diambil sebagai tindakan untuk meminimalisir risiko di masa depan. Melalui pengalaman yang mencukupi, mendorong kompleksitas pemikiran dan kesiapan individu untuk turut beradaptasi dengan perubahan tanpa adanya hambatan. Sebagai contoh, pemimpin saat dihadapi dengan politik kantor, tuntutan untuk menjawab permintaan pasar yang berkembang pesat, dan masalah yang terjadi pada internal apabila memiliki pengalaman yang handal, berperan penting untuk mengatasinya dengan lebih efektif dan efisien, sehingga selain memperhatikan kepada aspek internal, juga menjaga transparansi dan akuntabilitas terhadap pemangku kepentingan lainnya, yang akan meningkatkan performa perusahaan dengan lebih baik (Wang et al., 2016). Selain itu, dalam peneliti di China merumuskan bahwa pengetahuan merupakan seni rumit yang kompleks, dengan setiap individu yang memiliki keyakinan serta pemahaman berbeda dapat dipersatukan melalui negosiasi untuk menemukan solusi yang inovatif, dimana hal ini dapat tercapai setelah mempelajari satu sama lain yang didukung oleh waktu pengalaman bekerja. Tetapi, tidak semua pemimpin dengan pengalaman yang lebih besar akan selalu berada diatas dan lebih baik dari tenaga kerja yang masih tergolong muda atau belum memiliki tingkat pengalaman yang memadai. Hal ini karena manusia pasti akan selalu membutuhkan bantuan dari siapapun, dimana setiap berkembangnya waktu, manusia akan selalu berkembang. Sebagai contoh pada kebanyakan perusahaan, para top management yang sudah berusia cukup tua pasti akan membutuhkan bantuan dari karyawan muda terkait dengan pengoperasian teknologi, membangun sebuah kerangka pikir yang efektif, hingga membantu meningkatkan kinerja perusahaan dengan menyelaraskan kepada pertumbuhan zaman. Hal ini menyangkut kepada dunia akademisi maupun dunia praktisi, sehingga tidak dalam sebuah aspek, seseorang dengan pengalaman yang tinggi akan selalu lebih baik dari mereka yang belum memiliki pengalaman secara memadai.
  3. Social Connectedness:
    Tidak dapat dipungkiri bahwa hubungan sosial dengan berbagai pihak tidak menutup kemungkinan untuk mengubah seseorang baik dalam pola pikir maupun berkomunikasi dengan jajarannya dalam mengelola suatu perusahaan. Hal ini dapat terlihat bahwa pemimpin perlu membangun networking yang terhubung dengan eksternal organisasi, sehingga dapat mempelajari pertumbuhan trend di pasar dan menanggapi kebutuhan konsumen dan masyarakat dengan cepat melalui forum atau komunitas professional yang diikuti oleh pemimpin. Pada umumnya untuk membangun branding dan hubungan kepada pihak lain, dapat mengikuti komunitas-komunitas yang dibentuk oleh badan professional yang menaungi para professional untuk berbagi dan menyalurkan informasi serta pemikirannya untuk membentuk sebuah ide pemikiran baru yang menguntungkan seluruh pihak. Contoh pada badan professional akuntansi terdapat Ikatan Akuntan Indonesia (menjadi member), ASEAN CPA, CPA Australia, ACCA, dan lainnya, dimana dengan menaungi baik dari mahasiswa, akuntan professional, hingga para pemimpin, dapat saling menghantarkan informasi sesuai dengan perkembangan zaman. Salah satunya dalam DSAK IAI yang terdapat beberapa individu dengan latar belakang berbeda (OJK, Bank Indonesia, KAP, tenaga pendidik, praktisi, dan lainnya) memiliki pandangan yang berbeda, sehingga disinilah dapat menjadi tolak ukur untuk membangun dan mengembangkan standar akuntansi yang dapat diterima dari kalangan manapun. Hal ini juga dapat membantu para pemimpin board of directors dalam menyetir performa bisnis perusahaan yang sesuai dengan permintaan pasar berdasarkan berbagai sudut pandang yang berbeda untuk bersama-sama mengembangkan dan menjaga stabilitas perusahaan. Hanya saja, berdasarkan suatu penelitian terkait dengan board diversity, mengungkapkan bahwa setiap pemimpin yang berasal dari kalangan tertentu dapat berpotensi menguntungkan pihak perusahaan, tetapi disisi lain dapat menjadi faktor kerugian akibat adanya kepentingan pribadi.
  4. Gender:
    Pada poin terakhir, jenis kelamin juga dapat menjadi kategori utama yang menyebabkan perubahan dalam alur kepemimpinan di sebuah perusahaan, dimana hal ini akan mempengaruhi kinerja para tenaga kerja serta performa perusahaan. Menjadi pimpinan tidak harus selalu dijalani oleh Pria, karena Wanita tidak kalah bagusnya dengan mereka yang berjenis kelamin Pria dalam mengatur dan mengelola perusahaan. Hal ini telah dibuktikan dalam suatu penelitian yang mengungkapkan data bahwa dari secara pengalaman memang masih lebih banyak Pria, tetapi untuk jam kesibukan dalam mengerahkan arahan bisnis perusahaan, Wanita tergolong sedikit lebih sibuk dari pada Pria. Hal ini juga mengatakan bahwa adanya Gender Equality sebagai salah satu dari SDGs 2030 menunjukan bahwa Wanita memiliki kapasitas dan kapabilitas yang sangat baik untuk menjadi seorang pemimpin, dimana apabila Pria lebih memakai logika saat menghadapi masalah dan mengatur strategi, Wanita juga dapat mengombinasikannya dengan perasaan yang tentunya hal ini lebih mengundang kearah empati kepada seluruh pihak pemangku kepentingan dalam mewujudkan tujuan bersama. Selain itu, mereka yang berjenis kelamin Wanita juga ternilai tegas dan lebih teliti dalam memahami proyeksi data informasi yang diberikan oleh karyawan untuk menjadi penilaian dalam mempertimbangkan arus pergerakan perusahaan yang tepat kedepan dengan terfokus kepada antisipasi risiko yang tidak diinginkan. Tentunya dengan adanya sikap kepemimpinan antara Pria dan Wanita dapat menjadi kombinasi yang sangat baik untuk memimpin dan mengelola manajemen bisnis perusahaan dengan lebih efektif. Selain itu, hal ini juga mendorong bentuk emansipasi wanita untuk menjadi seorang pemimpin.

REFERENSI:

  • Finkelstein, S., & Hambrick, D. C. (1997). Top Executives and Their Effects on Organizations. The Academy of Management Review.
  • Hambrick, D. C., & Mason, P. A. (1984). Upper Echelons: The Organization as a Reflection of Its Top Managers. The Academy of Management Review. https://doi.org/10.2307/258434
  • Rogers, E. M., Singhal, A., & Quinlan, M. M. (2019). Diffusion of innovations. In An Integrated Approach to Communication Theory and Research, Third Edition. https://doi.org/10.4324/9780203710753-35
  • Wang, G., Holmes, R. M., Oh, I. S., & Zhu, W. (2016). Do CEOs Matter to Firm Strategic Actions and Firm Performance? A Meta-Analytic Investigation Based on Upper Echelons Theory. Personnel Psychology. https://doi.org/10.1111/peps.12140

Image Sources: Google Images