Sebuah pasukan tentu tidak dapat bergerak tanpa adanya komando dari pemimpin. Hal tersebut juga serupa dalam menjalani aktivitas pekerjaan di dunia industri, dimana pada umumnya, peran dari para pemimpin selaku atasan dapat mengarahkan sumber daya manusia untuk beroperasi serta mengalokasikan asset dengan efektif sesuai strategi yang dibangun untuk mencapai tujuannya. Sebagai seorang pemimpin, mereka harus dapat memahami terlebih dahulu setiap aspek dan bagian yang terdapat dalam perusahaan sebelum mereka menentukan tindakan yang tepat untuk mengomandoi seluruh bawahannya dengan efektif. Kebutuhan, latar belakang dari setiap tenaga kerja, masalah yang dihadapi pada masing-masing bagian di organisasi, pengalokasian dana dan asset yang berjalan secara efektif perlu menjadi pokok utama untuk mempertimbangkan langkah selanjutnya yang dapat diambil dan diterapkan secara berkelanjutan untuk mendukung aktivitas operasional yang berlangsung (Rajapathirana & Hui, 2018).

Setelah memperoleh insight dan mengidentifikasi berbagai aspek dalam perusahaan, pemimpin dapat mengarahkan kinerja perusahaan untuk dapat menghasilkan performa yang baik agar dapat mewujudkan keunggulan dalam berdaya saing secara global dan meningkatkan nilai dari perusahaan itu sendiri. Sebagaimana yang disebutkan dalam Upper Echelon Theory oleh Hambrick & Mason, (1984) bahwa keberadaan suatu usaha mencerminkan sikap dari para pemimpin dalam mengatur dan mengelola setiap prosedur yang terkandung didalamnya untuk mencapai tujuan yang tidak merugikan pihak pemangku kepentingan lainnya, seperti pemegang saham, karyawan, pemerintah, masyarakat, dan kreditur. Melalui tata kelola yang handal dan relevan sesuai dengan perencanaan strategi perusahaan, dapat menghantarkan perusahaan untuk mencapai tujuan dengan lebih efektif dan menjamin tingkat kepercayaan pengguna laporan serta pihak pemangku kepentingan terhadap performa perusahaan.

Salah satu yang menjadi letak permasalahan terkait dengan pelaksanaan tata kelola manajemen organisasi karena terdapat berbagai individu yang memiliki berbagai aspek yang berbeda, sehingga dengan meluasnya latar belakang dan struktur kepemimpinan dalam perusahaan, cenderung berpotensi terjadinya beberapa permasalahan yang merugikan, seperti adanya ketimpangan tanggung jawab akibat adanya agenda tersendiri yang menguntungkan pribadi dan mengabaikan hak pemangku kepentingan lainnya, dimana hal ini disebut sebagai agency theory (Jensen & Meckling, 1976). Selain itu, El diri et al., (2020) dan Huynh, (2020) juga menyatakan adanya keberagaman yang terdapat pada struktur kepemimpinan, apabila tidak dapat dikendalikan dengan efektif, dapat menimbulkan terjadinya conflict of interest. Hal ini dikarenakan setiap individu memiliki kepentingan tersendiri, mengingat mereka berasal dari latar belakang yang berbeda (perbankan, expert, dan lainnya). Tetapi pada teori lain, yaitu stewardship theory mengungkapkan bagaimana manajemen dalam mengelola operasional mengedapankan kebutuhan pemegang saham. Maka, beberapa poin utama yang dapat digambarkan terkait dengan tata kelola manajemen organisasi dengan adanya board diversity:

  1. Menghadirkan berbagai perspektif dalam menyusun strategi perusahaan dan mengambil keputusan, tetapi sisi negatifnya apabila masing-masing mengedepankan kepentingannya sendiri dapat memakan waktu lama dalam menentukan keputusan kedepan.
  2. Setiap jenis kepemilikan (ownership) dapat melahirkan proses tata kelola yang berbeda, seperti institutional, concentraded, family, dan lainnya.
  3. Meningkatkan tata kelola perusahaan yang lebih efektif, dimana dengan adanya skala cakupan perusahaan yang lebih luas dapat meningkatkan monitoring dan tuntutan kepada tenaga kerja dengan lebih baik.
  4. Dapat membantu mengadopsi aturan regulasi yang sesuai dengan operasional, dimana sebagai salah satunya seperti rule-based atau principle-based. Seperti principle-based yang menggunakan ketentuan yang bisa mengalami perubahan, tentu menimbulkan pengelolaan manajemen dalam organisasi yang harus dapat beradaptasi dengan perubahan.
  5. Meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan pengembangan regulasi yang lebih kompleks untuk dapat diadaptasikan dalam perusahaan. Hal ini selaras dengan Cadbury Report yang disusun pada tahun 1992 menuliskan definisi dari corporate governance adalah sebuah sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan, dimana hal ini mengartikan dengan adanya pembagian tanggung jawab dan membagi informasi untuk mencapai tujuan bersama, dapat menjamin peningkatan mutu dan nilai perusahaan melalui proses tata kelola manajemen yang berlangsung dengan efisien.
  6. Menyajikan informasi yang lengkap dan detail pada laporan keuangan (non-financial), terutama dalam menginterpresentasikan informasi tertulis mengenai kinerja operasional yang berlangsung dalam perusahaan tersebut. Pada laporan keuangan non financial, memberikan paparan informasi kualitatif terkait dengan bagan strukturisasi kepemimpinan, tata kelola manajemen, penilaian dan evaluasi risiko, hingga bagaimana perusahaan menunjukan kemajuannya dalam memberikan performa agar dapat berdaya saing secara unggul.

REFERENSI

  • Hambrick, D. C., & Mason, P. A. (1984). Upper Echelons: The Organization as a Reflection of Its Top Managers. The Academy of Management Review. https://doi.org/10.2307/258434
  • Huynh, Q. L. (2020). A triple of corporate governance, social responsibility and earnings management. Journal of Asian Finance, Economics and Business. https://doi.org/10.13106/jafeb.2020.vol7.no3.29
  • Jensen, M. C., & Meckling, W. H. (1976). Theory of the firm: Managerial behavior, agency costs and ownership structure. Journal of Financial Economics. https://doi.org/10.1016/0304-405X(76)90026-X
  • Rajapathirana, R. P. J., & Hui, Y. (2018). Relationship between innovation capability, innovation type, and firm performance. Journal of Innovation and Knowledge. https://doi.org/10.1016/j.jik.2017.06.002

Image Sources: Google Images