Bank syariah merupakan bank yang beroperasi dengan prinsip-prinsip syariah Islam. Sebagai bank yang spesifik, maka terdapat juga akad-akad yang spesifik ada di bank syariah yang tidak ditemukan di dalam bank konvensional. Akad-akad tersebut seperti pembiayaan untuk pembelian dan pengadaan hasil kegiatan pertanian seperti akad salam, akad yang merupakan fungsi sosial dari bank syariah seperti akad pinjaman kebajikan atau qardh. Dan juga akad yang merupakan fungsi sosial utama dari bank syariah seperti menyalurkan dana zakat, infak, sedekah dan juga wakaf tunai. Di Indonesia, bank syariah sudah berjalan selama kurang lebih 29 tahun, sejak berdiri bank Muamalat Indonesia sebagai bank syariah yang pertama di Indonesia. Meski begitu, hingga saat ini masih terdapat beberapa salah persepsi tentan bank syariah. Berikut beberapa persepsi yang keliru tersebut serta penjelasan untuk mengklarifikasi persepsi yang keliru tersebut.

  1. Persepsi pertama. Tingkat bagi hasil yang dikenakan oleh bank syariah kepada para (nasabah pembiayaan seharusnya lebih rendah dari bank konvensional. Kalau ditanay mengapa seperti itu maka jawabannya adalah karena bank syariah. Persepsi ini bisa timbu karena adanya pemikiran bahwa syariah Islam merupakan hal yang sama dengan ‘kebaikan dan kedermawanan’. Apabila menjual suatu produk barang/jasa, menurut persepsi masyarakat, maka Islam mengajarkan agar keuntungan yang diambil tidak dalam jumlah yang besar. Persepso ini banyak muncul di kalangan masyarakat. Padahal dalam dunia bisnis yang sesuai dengan syariah, dengan menggunakan prinsip bagi hasil tidak sesederhana itu.  Dalam penentuan   tingkat bagi hasil yang dikenakan kepada para nasabah pembiayaannya tersebut  bank syariah juga sangat tergantung dari komposisi dana pihak ketiga yang dipercaya di dalam  di bank syariah tersebut. Apabila komposisi dana murah (tabungan dan giro) di bank syariah tersebut lebih mendominasi, maka bank syariah akan mampu memberikan ‘harga’ yang kompetitif di pasar. Akan tetapi apabila yang terjadi adalah hal yang sebaliknya maka dana yang mahal akan menjadi lebih besar jumlahnya sehingga biaya yang doiberikan kepada para nasabah pembiayaan juga menjadi lebih tinggi. Karena itulah maka bank syariah harus mencari lebih banyak nasabah dana pihak ketiga dalam bentuk tabungan atau deposito sehingga biaya yang dibebankan kepada nasabah pembiayaan menjadi lebih kompetitif.
  2. Bank syariah tidak memerlukan jaminan pada pembiayaan yang disalurkan.
    Ada anggapan bahwa ketika berhutang ke bank syariah, pihak bank syariah tidak akan mensyaratkan adanya jaminan. Masyarakat berpersepsi, apabila bank syariah juga mensyaratkan adanya barang jaminan untuk menjamin pembiayaan yang disalurkan, lalu apa bedanya dengan bank konvensional?
    Sebagaimana diketahui bahwa di bank syariah, fungsi utama jaminan sebenarnya lebih sebagai moral obligation daripada sebagai source of repayment (sumber pembayaran). Yang menjadi pertimbangan utama bank syariah dalam memutuskan penyaluran pembiayaan adalah kalayakan bisnis nasabah, bukan coverage jaminan. Meskipun jaminan meng-cover namun bisnisnya tidak feasible, bank syariah tidak bisa membiayai usaha tersebut.
  3. Bank syariah memberikan toleransi keterlambatan pembayaran angsuran yang sangat panjang.
    Ada persepsi di masyarakat yang menganggap bank syariah akan memberikan toleransi yang sangat lama apabila terjadi keterlambatan pembayaran angsuran. Jadi, apabila baru 1 hari menunggak bank syariah sudah menagih, dipersepsikan bank syariah tidak syariah, bank syariah sama dengan konvensional, dll.
  4. Bank syariah hanya ada di kota-kota besar.
    Opini yang cukup banyak berkembang di masyarakat adalah bahwa bank syariah belum tersedia selain di kota-kota besar. Padahal, beberapa bank syariah besar di Indonesia sudah ada hampir di tiap kota di Indonesia dan bukan hanya kota besar. Apalagi beberapa bank syariah juga sangat agresif dalam melakukan ekspansi jaringannya, dari Simeuleu sampai Jayapura. Bank syariah juga selalu membuka kerja sama dengan pihak lain agar semakin mudah menjangkau masyarakat di daerah-daerah terpencil, misalnya BSM dengan PT. Pos Indonesia. Nasabah dapat mengambil uang tunai melalui Kantor Pos apabila di daerah tersebut belum ada bank syariah.
  5. Pengajuan pembiayaan ke bank syariah lebih sulit dan rumit.
    Persepsi ini berkembang disebabkan adanya pembanding, yaitu bank konvensional yang sudah puluhan bahkan ratusan tahun ada di Indonesia. Padahal, sebenarnya persepsi yang lebih tepat bukan lebih sulit dan rumit, tapi bank syariah lebih hati-hati dalam menyalurkan pembiayaannya. Hal tersebut dapat dibuktikan sendiri oleh masyarakat, apabila seseorang memiliki bisnis yang feasible dan bankable, nasabah jujur dan terbuka serta kooperatif, maka bank syariah tidak segan-segan untuk memberikan persetujuan pembiayaannya.
    Berbeda dengan seseorang yang tidak kooperatif, terbuka dan jujur dalam mengajukan pembiayaannya ke bank syariah. Kesan lebih rumit dan sulit muncul karena bank syariah ingin benar-benar meyakini kelayakan bisnis dan pribadi nasabah.
  6. Bank syariah tidak ada bedanya dengan bank konvensional.
    Kesan yang muncul dalam benak masyarakat adalah bank syariah hanya berbeda konsepnya, sedangkan realisasi di lapangannya sama atau maksimal tidak jauh perbedaannya dengan bank konvensional. Memang, tantangan yang ada dan akan selalu ada sampai masa-masa yang akan datang adalah sinkronisasi antara konsep dan praktek.
    Tidak dipungkiri bahwa masih ada bank syariah yang belum menerapkan konsep bank syariah secara menyeluruh dikarenakan keterbatasan kapabilitas dan kompetensi SDM-nya, sistem yang belum mampu mengakomodir, kebijakan manajemen, strategi pasar, dll. Namun, seiring dengan bergulirnya waktu, bank-bank syariah sedang dan terus melakukan perbaikan. Oleh karena itu, masukan-masukan dari masyarakat selaku pengguna layanan sangat diperlukan.
  7. Bank syariah hanya untuk nasabah muslim.
    Bank syariah adalah bank yang melandasi kegiatannya atas dasar prinsip syariah Islam sehingga menimbulkan persepsi hanya muslim-lah yang boleh menjadi nasabahnya. Perlu dicermati bahwa bank syariah adalah institusi yang bergerak dalam bidang muamalah, bukan dalam hal aqidah sehingga sama sekali tidak ada larangan bagi masyarakat non muslim yang ingin ber-bank syariah. Sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasul SAW, bahwa beliau sering berbisnis dengan orang-orang non muslim. Dan justru orang-orang non muslim itu sangat merasakan adanya nilai-nilai kejujuran, keadilan, transparansi ketika bertransaksi atau melakukan perniagaan dengan Rasul SAW. Begitupun dengan bank syariah yang harus selalu mengedepankan nilai-nilai kebaikan universal di dalam setiap layanan kepada para nasabahnya.
  8. Bank syariah tidak memiliki layanan berbasis IT yang canggih, seperti internet banking, mobile banking, dll.
    Kesan bahwa bank syariah belum memiliki layanan yang canggih masih ada di masyarakat. Kesan manual dan sederhana, kesan hanya mengandalkan layanan dan keramahan para front linernya. Padahal, bank syariah saat ini secara IT, dapat dikatakan tidak berbeda dengan konvensional, bahkan salah satu bank syariah telah memperoleh predikat bank syariah dengan layanan IT nomor dua diantara seluruh bank, baik konvensional maupun syariah. Dengan demikian, bank syariah harus terus mensosialisasikan layanan IT-nya kepada para nasabahnya agar kesan manual segera terkikis sedikit demi sedikit dari benak nasabah.

Referensi:

  • Huda, N & Heykal, M ( 2010 ), Lembaga Keuangan Islam, Landasan Teoritis dan Praktis, Prenada Media Jakarta
  • Website
    http://www.iaei-pusat.org/memberpost/perbankan/

Image Sources: Google Images