Pajak Penghasilan Pasal 23 (PPh Pasal 23) mengatur mengenai pajak yang dipotong oleh pemungut pajak dari Wajib Pajak atas penghasilan yang diperoleh dari modal (dividen, bunga, royalti dll.) penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang dipotong dalam Pajak Penghasilan Pasal 21.

Jika WPDN dikenakan PPh 23, dan WPLN dikenakan PPh 26 (tarif tunggal 20%), jika WPDN tidak memiliki NPWP tarif lebih tinggi 100%.

Tarif PPh 23 :

  • Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2); dan
  • Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21.

Manajemen Pajak PPh 23 :

  • Mengajukan permohonan izin bebas potong (khusus pengusaha dengan prederan bruto tertentu) Dalam mengajukan permohonan tersebut, pengusaha dengan prederan bruto dapat mengajukan ke KPP dan mendapatkan surat keterangan pengusaha dengan prederan bruto sesuai dengan PP 23 tahun 2018.
  • Metode Gross Up :
    Metode ini adalah langkah yang dilakukan dengan memasukan jumlah potongan PPh Pasal 23 pada nilai jasa yang hendak dibayarkan. Artinya, perusahaan menanggung beban potongan PPh Pasal 23 dan menyetorkan kepada kas negara.
    Hal ini dilakukan agar pembukuan tetap konsisten. Setiap dokumen yang terbit setelah perhitungan gross up harus mencantumkan nilai konsisten atau nilai sebesar yang telah dilakukan perhitungan gross up.
    Karena menurut UU Pph pasal 9 ayat 1 (h) pemotongan pph 23 tidak dapat dibiayakan, maka :
    Nilai invoice yang diterima perusahaan harus disesuaikan dengan nilai gross up sehingga nilai transkasi akan lebih besar, dan sebagai pengurang penghasilan bruto pada pajak penghasilan perusahaan.

Referensi :

  • Undang-undang no. 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan