Fenomena Penghindaran Pajak

Pepatah mengatakan Siapa Jujur Pasti Mujur, ini sangat berlaku juga sebagai Wajib Pajak. Fenomena ketidakjujuran Wajib Pajak banyak terjadi di Indonesia. Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menyatakan bahwa pengelakan pajak merupakan masalah serius di Indonesia. Diduga setiap tahun ada Rp110 triliun yang merupakan angka penghindaran pajak. Sekitar 80 persen penghindaran oleh WP badan usaha dan sisanya adalah WP perorangan. Perkumpulan Prakarsa mempublikasikan penelitian  bahwa selama tahun 2010-2014, akumulasi aliran dana gelap dari Indonesia ke luar negeri mencapai Rp 914 triliun. Sementara laporan Global Financial Integrity menyebutkan, dalam kurun 2004 – 2013, dana ilegal yang keluar dari indonesia mencapai 180,71 miliar dollar AS atau setara Rp 2.100 triliun. Pada tahun 2020, Tax Justice Network melaporkan penghindaran pajak di Indonesia mengakibatkan kerugian hingga US$ 4,86 miliar per tahun. Angka tersebut setara dengan Rp 68,7 triliun.

Penghindaran pajak bukan hanya masalah keuangan bagi otoritas pajak, namun juga mengikis kelancaran fungsi kepatuhan peraturan, integritas organisasi, dan masyarakat. Penghindaran pajak merupakan  masalah bagi tax sustainabilty (Bird & Nozemack, 2018). Secara khusus, Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) terkait dengan Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) merekomendasikan 15 tindakan nyata untuk mencegah penghindaran pajak (OECD 2015). Tindakan ini mewajibkan perusahaan multinasional menyediakan informasi yang relevan kepada pemerintah, tentang alokasi global pendapatan, aktivitas ekonomi, dan pajak yang dibayarkan negara (OECD, 2015).

Global Reporting Initiative telah mengembangkan kerangka Tax Standard untuk menanggapi kekhawatiran dampak penghindaran pajak terhadap sumber daya pemerintah untuk mendanai pelayanan dan pembangunan berkelanjutan. Tax Standard juga memberikan kejelasan tentang seberapa besar kontribusi perusahaan terhadap pendapatan pajak di negara mereka beroperasi dan cara mereka mengungkapkan (GRI, 2019). Forbes tahun 2020, juga memberitakan bahwa tax disclosure dapat menunjukkan karakter leadership top management dalam memenuhi kewajiban perusahaan kepada stakeholder. Bisnis yang sehat dicerminkan dengan komunikasi yang efektif untuk membangun kredibilitas terhadap stakeholder utama, seperti investor, karyawan, konsumen, dan pemerintah. Munculnya GRI Tax Standard, telah menjadi momentum dengan semakin banyaknya perusahaan internasional secara sukarela untuk melaporkan informasi pajaknya sebagai wujud dukungan kepada pemerintah.

Urgensi Tax Disclosure

Dari fenomena di atas, maka dibutuhkan suatu regulasi perpajakan yang menetapkan pengungkapan pajak (tax disclosure) bagi Wajib Pajak badan di Indonesia. Sarana pengungkapan pajak dapat disampaikan melalui Sustainability Reporting (SR) perusahaan. Wajib Pajak dapat mengungkapkan strategi pajak yang diterapkan, mitigasi risiko pajak, kepatuhan pajak perusahaan dan hal lain yang dipandang perlu bagi stakeholder. Perusahaan yang terbiasa mengemplang pajak, tentunya akan keberatan dengan kewajiban tax disclosure. Namun bagi perusahaan yang jujur dan memiliki komunikasi baik dengan stakeholder dalam pelaksanaan kewajiban perpajakannya, tentu akan menyambut gembira kebijakan ini. Oleh karenanya, pemerintah diharapkan dapat segera merumuskan regulasi tax disclosure.

Setelah regulasi tersebut dapat dijalankan oleh perusahaan, Direktorat Jenderal Pajak perlu merumuskan suatu indeks khusus pengungkapan pajak untuk Wajib Pajak badan. Indeks tersebut akan mencerminkan peringkat dan kelompok Wajib Pajak Badan berdasarkan tingkat pengungkapannya. Setiap periode tertentu, DJP dapat mempublikasi rating indeks seluruh Wajib Pajak badan tersebut untuk kepentingan stakeholder. Dengan penerapan tax disclosure dan perumusan indeks khusus pengungkapan, mendorong budaya kejujuran Wajib Pajak serta mengurangi biaya pengawasan dan pemeriksaan pajak yang cukup besar. Penerapan tersebut pasti  mendapat sambutan baik dari stakeholder, terutama pemegang saham, kreditur, serta pihak manajemen. Pemegang saham tentu ingin agar perusahaannya sustain dan tidak bermasalah dengan pajak, demikian juga kreditur yang memastikan pinjamannya kembali dengan return yang diharapkan. Perusahaan yang jujur identik dengan Wajib Pajak patuh. Pastinya perusahaan semakin dilirik oleh investor, karena perusahaan yang jujur dalam pajak pasti merupakan perusahaan yang sehat. Wajib Pajak yang jujur, pasti mujur.

Sumber :

  • Global Reporting Initiative (GRI), 2019
  • Bird, R. & Karie Davis-Nozemack, 2018. “Tax Avoidance as a Sustainability Problem,” Journal of Business Ethics, Springer, vol. 151(4), pages 1009-1025, September.

Image Sources: Google Image