Pandemi Covid-19 membuat timbulnya tantangan seperti adanya keterbatasan dalam hal audit dan pemeriksaan. Banyak tantangan dalam mengelola keuangan saat ini saat pandemi Covid-19. Hal ini menimbulkan berbagai tantangan mulai dari risiko strategis, risiko kepatuhan, hingga risiko keuangan (Anggraeni, 2021). Beberapa prosedur audit seperti inspection of tangible asset atau pemeriksaan asset secara fisik yang biasanya mudah dilakukan, kini menjadi sulit karena adanya pembatasan social dan menjaga jarak. Auditor tidak bisa leluasa datang ke lokasi untuk memeriksa secara langsung asset klien (Khoirunnisa et al, 2021). Observasi secara daring menjadi salah satu solusinya, namun demikian seringkali observasi secara daring kurang dapat memeriksa secara detail dari asset, terutama asset tetap. Beberapa pemeriksaan asset tetap secara daring dilakukan dengan menghidupkan asset yang diperiksa, ketika asset dapat hidup atau menyala, maka auditor langsung membuat tick-mark di kertas kerja audit dan menganggap permasalahan sudah selesai, asset sudah diverifikasi. Padahal auditor selain memeriksa asersi existence and occurrence dari asset tetap, asersi valuation and allocation juga harus diperiksa. Adanya pertanyaan – pertanyaan seperti:

  1. Apakah nilai wajar yang dilaporkan oleh klien telah sesuai dengan kondisi fisiknya?
  2. Apakah nilai wajar yang dilaporkan mencerminkan nilai realisasi bersih ketika asset tersebut dijual?
  3. Apakah klien telah melakukan impairment atau penyesuaian atas nilai asset yang telah mengalami penurunan atau obsolete?

Seperti kita ketahui bahwa asset harus dilaporkan sesuai dengan nilai wajar, atau nilai realisasi bersih dari asset tersebut.

Keterbatasan proses audit ini juga disadari oleh klien, dan hal ini menimbulkan opportunity atau peluang terjadinya skema kecurangan yang dengan sengaja memanfaatkan situasi keterbatasan pemeriksaan asset fisik secara daring untuk melakukan penggelembungan nilai asset.

Beberapa skema kecurangan yang dapat terjadi:

  1. Klien hanya memperlihatkan bagian luar saja dari asset pada saat observasi secara daring. Bagian asset yang defect atau mengalami kerusakan, penurunan nilai sengaja tidak diperlihatkan
  2. Manipulasi dokumen yang berhubungan dengan pengadaan, seperti nilai perolehan dari asset. Pemeriksaan dokumen dilakukan secara korespondesi menggunakan surat elektronik, dimana yang dikirimkan adalah mayoritas dalam bentuk softcopy, hasil scan dan bukan dokumen asli (Khoirunnisa et al., 2021).
  3. Pelaporan asumsi dan estimasi yang tidak benar, seperti asumsi umur ekonomis dan estimasi nilai sisa yang digelembungkan karena kondisi fisiknya yang tidak dapat diperiksa secara rinci

Bila demikian, bagaimana auditor menyikapi adanya potensi kecurangan overstatement atau penggelembungan asset ini?

  1. Auditor harus lebih pintar dan cerdik dari klien. Auditor dapat memanfaatkan teknologi, misalnya dengan menggunakan drone untuk melakukan observasi asset tetap. Drone dapat bergerak bebas sesuai keinginan auditor dan tidak seperti observasi menggunakan kamera secara meeting daring yang dipandu oleh klien
  2. Auditor juga harus tetap meminta bukti dokumen asli, bisa secara sampling, terutama untuk transaksi – transaksi yang tidak biasa dan menimbulkan kecurigaan terjadinya salah saji
  3. Pentingnya pengumpulan informasi segmen yang mungkin berubah untuk audit di tahun masa pandemic dibandingkan dengan tahun sebelum pandemi pada klien. Termasuk di dalamnya kemungkinan penurunan nilai atas aset tetap dan aset tak berwujud jika ada segmen perusahaan yang berhenti beroperasi (Fatmasari, 2020).
  4. Untuk mengatasi keterbatsan penghitungan fisik, seperti pada asset lancar, misalnya persediaan dapat disiasati dengan prosedur alternatif, yaitu pengujian penjualan setelah akhir tahun, pengujian pengendalian lainnya atas persediaan, dan penggunaan drone atau penginderaan jarak jauh sebagai opsi.

REFERENSI:

Image Sources: Google Images