Resiko kebangkrutan telah menjadi isu yang sangat diperhatikan oleh para peneliti, khususnya para peneliti dibidang keuangan dan akuntansi. Kebangkrutan merupakan salah satu masalah yang sangat berpengaruh terhadap investor. Hal itu terjadi karena investor akan kehilangan hartanya apabila perusahaan tempatnya berinvestasi mengalami kebangkrutan. Tidak hanya itu saja, pemerintah juga memiliki kepentingan terhadap masalah kebangkrutan perusahaan. Hal tersebut terkait dengan kemungkinan adanya peningkatan tingkat pengangguran apabila terdapat perusahaan yang mengalami kebangkrutan. Seperti yang kita ketahui bahwa masalah pengangguran adalah masalah besar yang selalu menghantui pemerintah negara manapun, termasuk negara Indonesia.

Penelitian terdahulu telah meneliti beberapa hal yang dapat menjadi faktor penentu kebangkrutan suatu perusahaan. Sebagai contohnya, Hsu et al. (2015) menemukan bahwa perusahaan dengan tingkat inovasi yang tinggi memiliki kemungkinan kebangkrutan yang lebih rendah dibandingkan dengan perusahaan yang memiliki tingkat inovasi yang rendah. Hal ini kemungkinan terkait dengan keunggulan kompetitif yang dimiliki oleh perusahaan yang selalu berinovasi, sehingga perusahaan tersebut dapat bertahan dalam bisnisnya. Selain itu, Brogaard et al. (2017) menemukan bahwa perusahaan dengan likuiditas surat berharga yang lebih tinggi memiliki kemungkinan kebangkrutan yang lebih rendah. Mereka berargumentasi bahwa hal tersebut terjadi akibat adanya peningkatan efisiensi informasi dan tata Kelola perusahaan sebagai akibat dari peningkatan likuiditas surat berharga perusahaan.

Artikel ini membahas salah satu cara mengukur resiko kebangkrutan yang digunakan oleh beberapa penelitian terdahulu. Metode yang akan dibahas dalam artikel ini adalah metode expected default frequency (EDF) yang dikembangkan oleh Bharath & Shumway (2008). Metode ini berlandaskan pada argument bahwa ekuitas merupakan opsi beli atas nilai perusahaan dengan harga kesepakatan setara dengan nilai hutang perusahaan. Oleh karena itu, kebangkrutan akan terjadi apabila nilai tersebut turun di bawah nilai hutang. Berdasarkan argument tersebut, Bharath & Shumway (2008) membangun suatu model matematika yang memuat nilai ekuitas perusahaan dan nilai hutang perusahaan dengan memperhatikan tingkat kembalian saham perusahaan dan volatilitas kembalian saham perusahaan.

REFERENSI:

  • Bharath, S. T., Shumway, T., 2008. Forecasting Default with the Merton Distance to Default Model. The Review of Financial Studies, 21, 1339–1369.
  • Brogaard, J., Li, D., Xia, Y., 2017. Stock liquidity and default risk. Journal of Financial Economics, 124, 486–502.
  • Hsu, P. H., Lee, H. H., Liu, A. Z., Zhang, Z., 2015. Corporate innovation, default risk, and bond pricing. Journal of Corporate Finance, 35, 329–344.

Image Sources: https://www.pexels.com/