Kata disruptif dalam Bahasa Inggris berasal dari kata “Disrupt” yang menurut definisi Oxford merupakan sebuah masalah yang mengganggu atau menggantikan secara paksa dalam suatu peristiwa, kegiatan, atau proses yang telah lama berjalan. Saat terjadinya inovasi bila tidak dapat dihantarkan dengan baik (terdifusi), maka dapat mengundang ketidaksiapan yang merugikan berbagai pihak seperti salah satunya adalah terjadinya disrupsi secara terus menerus dengan memaksa pergantian sistem atau mengancam keberadaan manusia dengan hadirnya teknologi yang lebih modern dan canggih di era revolusi industri 4.0 (Yu & Hang, 2010).

Disruptive Innovation Theory merupakan sebuah teori yang ditemukan oleh Christensen, (1997) yang menerbitkan sebuah buku berjudul “The Innovator’s Dilemma”. Yang menjelaskan bagaimana sebuah bentuk baru dari kompetisi antar pihak untuk menemukan hal baru disebut sebagai “Disruptive Innovation”. Dalam interview yang dilakukan oleh Denning, (2016) teori ini menjelaskan bagaimana sebuah fenomena yang terjadi dari sebuah inovasi baru dapat mengubah kondisi pasar yang ada dengan memperkenalkan kesederhanaan, kenyamanan, aksesibilitas, dan keterjangkauan dengan biaya yang cukup tinggi. Inovasi yang dikembangkan, khususnya di era revolusi industri 4.0 saat ini telah membawa banyak perubahan secara signifikan, dimana bila perusahaan tidak mampu beradaptasi dan memiliki sikap yang terbuka, akan mengganggu operasional secara keseluruhan yang pada akhirnya akan merugikan perusahaan.

Dalam penelitian Christensen et al., (2018) setelah 2 dekade penggunaan teori disruptif dalam dunia praktisi maupun akademisi menjadi tidak konsisten baik dari sisi perspektif dan pelaksanaannya, sehingga dapat menghantarkan kepada dua risiko utama, pertama ketika ide inti dari pekerjaan sebelumnya digantikan dengan penggunaan terminologi yang sembarangan, para peneliti akan mengalami kesulitan dalam membangun kerangka penelitian untuk menelusuri dan menemukan informasinya, sehingga risiko tersebut dapat berakibat terhadap jurnal akademik dan buku yang menjelaskan mengenai ilmu teori disrupsi, kedua adanya kesalah pahaman dari individu terhadap teori tersebut, dapat menghantarkannya kepada pembuatan ide yang salah, sehingga dapat merugikan performa perusahaan. Hal tersebut mengakibatkan banyak pemimpin perusahaan yang tidak berani mengambil risiko sebagai bagian dari strategi mereka untuk memperbarui seluruh aspek yang terkandung didalam perusahaan untuk menguasai perubahan.

Menurut Christensen dalam interview Denning, (2016) menjelaskan bahwa terdapat tiga jenis inovasi yang terdiri dari:

  1. Market-creating Innovations:
    Hasil pemikiran yang inovatif mendorong pertumbuhan baru sebagai peluang dalam trend di pasar yang menghadirkan berbagai implementasi baru. Pada jenis inovasi ini, menurut Denning, (2016) dapat mengganggu pertumbuhan perusahaan lama yang tidak memperbarui sistem mereka untuk menghasilkan produk dalam jumlah besar dengan harga yang terjangkau.
  2. Sustaining Innovations:
    Perubahan sangat dibutuhkan untuk menjaga keberlangsungan laju dunia perekonomian dan industri dalam meningkatkan performanya. Hal ini mendorong adanya inovasi dari pihak perusahaan dengan menyesuaikan terhadap kondisi pasar, dimana bertujuan untuk menciptakan produk atau layanan yang lebih baik. Untuk menjaga stabilitas perekonomian, pemimpin perlu memikirkan solusi yang dapat memecahkan masalah dalam jangka panjang dengan menghasilkan produk baru yang berkualitas dengan harga yang sesuai, sehingga selain perusahaan, pihak eksternal berupa pelanggan akan terjamin pemenuhan kebutuhannya dengan pengeluaran yang efisien.
  3. Efficiency Innovations:
    Pada inovasi ini bertujuan untuk dapat menghasilkan output yang lebih banyak dengan usaha yang efisien. Perusahaan dapat menilai informasi yang diperoleh terkait dengan produktivitas yang berjalan, sehingga dapat mencegah terjadinya penggunaan biaya yang tidak perlu untuk meningkatkan profitabilitas. Kelemahan pada inovasi ini adalah dapat mengurangi jumlah tenaga kerja, seperti contohnya di era 4.0 telah menghadirkan teknologi yang mampu meningkatkan performa perusahaan secara efektif dengan mengefisiensi sumber daya manusia (Moffitt et al., 2018).

REFERENSI:

  • Christensen, C. M. (1997). The Innovator ’ s Dilemma When New Technologies Cause Great Firms to Fail How Can Great Firms Fail ? Insights from the Hard Disk Drive. Harvard Business School Press.
  • Christensen, C. M., McDonald, R., Altman, E. J., & Palmer, J. E. (2018). Disruptive Innovation: An Intellectual History and Directions for Future Research. Journal of Management Studies. https://doi.org/10.1111/joms.12349
  • Denning, S. (2016). Christensen updates disruption theory. Strategy and Leadership. https://doi.org/10.1108/SL-01-2016-0005
  • Moffitt, K. C., Rozario, A. M., & Vasarhelyi, M. A. (2018). Robotic process automation for auditing. In Journal of Emerging Technologies in Accounting. https://doi.org/10.2308/jeta-10589
  • Yu, D., & Hang, C. C. (2010). A Reflective Review of Disruptive Innovation Theory. In International Journal of Management Reviews. https://doi.org/10.1111/j.1468-2370.2009.00272.

Image Sources: Google Image