Jenjang peraturan sesuai dengan perundang – undangan pajak terlihat di UU Material dan Formal. Bukti ada nya perlimpahan kekuasaaan dari UU ke pemerintah untuk pengaturan lanjutan dalam proses pemungutan pajak adalah pada UU No. 36 Tahun 2008 pasal 17 untuk wajib pajak badan tarif yang dikenakan adalah 25%. Dalam pasal 31E ayat 1 yang berisikan :

Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).”

Pada pasal diatas juga menjelaskan adanya norma dengan fasiltas berupa penguranan tarif tersebut. Jadi jika wajib pajak badan memiliki peredaran bruto sampai dengan 50 M mendapatkan fasilitas 50% dari tarif 25% dan dikenakan sampai dengan peredaran bruto 4,8 M. Dengan kata lain Wajib pajak dalam negeri yang memiliki peredaran bruto Max. 50 M setahun,  4,8 M dari peredaran bruto tersebut mendapatkan tarif 12,5%. Lalu dengan ada nya pelimpahan dari UU ke pemerintah, pemerintah membuat Peraturan Pemerintah no. 23 tahun 2018 untuk membuat kebijakan mengingat UU No. 36 Tahun 2008 tentang pajak penghasilan wajib pajak badan.

Dalam pasal 2 PP 23/2018 wajib  pajak dengan prederan bruto tertentu, dikenai pajak penghasilan bersifat final dengan tarif 0,5%, dan pasal 3 PP 23/2018 juga menjelaskan wajib pajak tersebut adalah wajib pajak orang pribadi dan badan yang memiliki predaran bruto tidak melebihi 4,8 M dalam setahun. Jadi dengan ada nya ketentuan ini yang semula di UU dijelaskan jika wajib pajak badan yang memiliki prederan bruto sampai dengan 50 M, maka 4,8 M dari peredaran  bruto tersebut dikenakan tarif 12,5%, namun dengan ada nya Peraturan Pemerintah ini maka, wajib pajak badan dengan peredaran bruto tidak melebihi 4,8M maka dikenakan tarif 0,5%.

Mengapa terjadi perlimpahan kekuasaan tersebut, karena untuk merevisi UU akan membutuhkan proses dan waktu yang cukup lama. Dengan perlimpahan kekuasaan ini, pemerintah lebih mudah untuk mengupdate apa saja yang ada di UU sesuai dengan keadaan yang berlangsung saat ini. Tentu nya hal ini diharapkan peraturan yang dibuat atas perlimpahan ini, tidak merugikan rakyat dan yang lainnya.

Image Sources: Google Image

MK