Debt Equity Ratio dalam perpajakan adalah perbandingan antara jumlah utang dan modal yang digunakan dalam perhitungan pajak. Peraturan yang mengatur atas DER dalam perpajakan ini adalah Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 169/PMK.010/2015 tentang Penentuan Besarnya Antara Utang dan Modal Perusahaan untuk Keperluan Penghitungan Pajak Penghasilan. Pada PMK tersebut angka DER adalah 4:1. Dimana kita ketahui cara menghitung DER adalah total utang/total ekuitas, dan jika hasil dibawah 1.00 maka perusahaan termasuk dalam kategori sehat, karena memiliki saldo utang lebih kecil di banding saldo ekuitas(modal).

PMK nomor 169/2015 pasal 1 ayat 1 “untuk keperluan penghitungan Pajak Penghasilan ditetapkan besarnya perbandingan antara utang dan modal bagi Wajib Pajak Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia  yang modalnya terbagi atas saham-saham.” Dalam peraturan juga disebutkan utang dan modal yang dimaskud adalah rata-rata saldo utang atau modal dalam satu tahun pajak. Pada pasal 1 ayat 5 menjelaskan bahwa modal juga termasuk yang sesuai dengan standar akuntansi keuangan yang berlaku dan pinjaman tanpa bunga dari pihak yang memiliki hubungan istimewa. Hubungan istimewa disini dapat disebut juga sebagai pemegang saham.

Oleh karena itu, peraturan ini juga menjelaskan dalam hal perbandingan saldo utang dan modal dari wajip pajak lebih besar perbandingan 4:1, maka biaya pinjaman dapat diakui sebagai deductible expenses, dengan memperhatikan ketentuan klasifikasi utang dan modal yang disebutkan pada PMK 169/2015. Biaya yang dimaksud adalah :

  1. bunga pinjaman;
  2. diskonto dan premium yang terkait dengan pinjaman;
  3. biaya tambahan yang terjadi yang terkait dengan perolehan pinjaman (arrangement of borrowings);
  4. beban keuangan dalam sewa pembiayaan;
  5. biaya imbalan karena jaminan pengembalian utang; dan
  6. selisih kurs yang berasal dari pinjaman dalam mata uang asing sepanjang selisih kurs tersebut sebagai penyesuaian terhadap biaya bunga dan biaya sebagaimana dimaksud pada huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e.

Wajib pajak yang dikecualikan dalam peraturan ini adalah :

  1. Wajib Pajak bank;
  2. Wajib Pajak lembaga pembiayaan;
  3. Wajib Pajak asuransi dan reasuransi;
  4. Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang pertambangan minyak dan gas bumi, pertambangan umum, dan pertambangan lainnya yang terikat kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan, dan dalam kontrak atau perjanjian dimaksud mengatur atau mencantumkan ketentuan mengenai batasan perbandingan antara utang dan modal; dan
  5. Wajib Pajak yang atas seluruh penghasilannya dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan peraturan perundang-undangan tersendiri; dan
  6. Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang infrastruktur.

Untuk wajib pajak yang ingin memanfaatkan PMK ini, dapat melihat PER 25/PJ/2017 yang menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Tentang Pelaksanaan Penentuan Besarnya Perbandingan Antara Utang Dan Modal Perusahaan Untuk Keperluan Penghitungan Pajak Penghasilan Dan Tata Cara Pelaporan Utang Swasta Luar Negeri.

Kesimpulan :

Kebijakan ini bertujuan agar kondisi keuangan perusahaan agar tetap sehat dan dana pengurang pajak penghasilan tersebut dapat dimanfaatkan perusahaan untuk membayar utangnya. Tujuan dibentuk nya rasio agar mengurangi tindakan kecurangan perusahaan yang mengakui ekuitas dan hutang fiktif yang dimanfaatkan untuk meningkatkan deductible expenses. Wajib pajak direkomendasikan untuk melakukan kebijakan tersebut, karena mengurangi beban pajak, sehingga perusahaan dapat menggunakan dana lebih nya untuk keperluan pembayaran hutang atau operasional perusahaan lainnya.

Referensi : https://www.pajak.go.id/en/peraturan-menteri-keuangan-nomor-169pmk102015

MK