Tantangan Bagi Akuntansi Berkelanjutan
Isu tentang akuntansi berkelanjutan merupakan bahan mutlak untuk dijadikan dasar dalam pengambilan keputusan dalam dunia bisnis, untuk ikut berpartisipasi dalam melestarikan alam. Untuk mendukung pelaporan ini akuntansi memiliki pelaporan penting, karena diperlukan kerja keras dan peranan perusahaan beserta kantor akuntan untuk menyertakan penilaian unsure penyelamatan lingkungan dalam pekerjaannya demi keberlanjutan profesinya. Akuntansi Keberlanjutan (Sustainability Accounting) merupakan alat yang digunakan oleh organisasi untuk menjadi lebih berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan didefinisikan oleh Komisi Brundtland Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1987.
Salah satu tantangan utama yang dihadapi di bidang akuntansi keberlanjutan, yang dimulai dengan berkurangnya memahami definisi dari pembangunan bekerlanjutan (Sustainable Development). Tantangan lain adalah terkadang sulit untuk menghubungkan antara keberlanjutan dan bisnis sebagai tujuan akhir, karena selama ini, umumnya secara tradisional bisnis harus mendapatkan maksimalisasi profit, agar bisa dilihat layak sebagai pertumbuhan modal untuk kepentingan pemegang saham. Meskipun dalam beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa praktek-praktek bisnis yang berkelanjutan dapat mengejar untuk mempromosikan keuntungan jangka panjang yang lebih besar, tetapi hubungan ini ternyata tidak selalu jelas, dan ada tanda tanya besar, sejauh mana organisasi harus memepertimbangkan faktor – faktor yang tidak meningkatkan keuntungan.
Akuntansi berkelanjutans endiri membutihkan suatu alat pengukuan. Pengukuran yang paling banyak digunakan adalah Corporate Sustainability Reporting (CSR) dan Akuntansi Triple Bottom Line (TBL atau 3BL). Konsep ini adalah kerangka kerja akuntansi dengan tiga bagian: sosial, lingkungan (atau ekologis) dan keuangan. Akuntansi Triple Bottom Line (TBL) memperluas kerangka pelaporan tradisional untuk memperhitungkan kinerja sosial dan lingkungan di samping kinerja keuangan. Beberapa organisasi telah mengadopsi kerangka kerja TBL untuk mengevaluasi kinerja mereka dalam perspektif yang lebih luas untuk menciptakan nilai bisnis yang lebih besar. Triple Bottom Line (TBL) diciptakan oleh John Elkington pada tahun 1994 dan dirancang untuk berpikiran bisnis waspada dari perlunya faktor valuasi non-pasar, yakni mengintegrasikan modal alam untuk modal bisnis mereka.
Untuk melaporkan upaya mereka, perusahaan dapat menunjukkan komitmen mereka terhadap tanggung jawab social perusahaan (CSR) melalui hal berikut:
- Keterlibatan tingkat atas (CEO, Dewan Direksi)
- Investasi kebijakan
- Program
- Penandatangan standar sukarela
- Principles (UN Global Compact-Ceres Principles)
- Pelaporan (Prakarsa Pelaporan Global)
Konsep TBL menuntut bahwa tanggung jawab perusahaan terletak pada pemangku kepentingan dari pada pemegang saham. Dalam hal ini, “pemangku kepentingan” mengacu pada siapa saja yang dipengaruhi, baik secara langsung maupun tidak langsung, oleh tindakan perusahaan. Contoh pemangku kepentingan termasuk: karyawan, pelanggan, pemasok, penduduk lokal, lembaga pemerintah, dan kreditor.
Salah satu kerangka kerja analitis tersebut adalah model balanced scorecard yang berkelanjutan. Menggunakan kerangka kerja balanced scorecard yang popular sebagai dasarnya, model balanced scorecard keberlanjutan membutuhkan data baru untuk keberlanjutan, yang dapat diperoleh melalui analisis eko-efisiensi. Analisis eko-efisiensi mengamati hubungan sebab akibat antara penciptaan nilai ekonomi dan dampak lingkungan yang ditambahkan melalui dua bentuk penilaian: inventaris siklus hidup dan dampak siklus hidup. Penilaian ini menghubungkan balanced scorecard ke sistem akuntansi lingkungan perusahaan dengan bergabung dalam berbagai proses pemodelan. Metode ini mengamati hubungan antaradimensisosial, lingkungan, dan ekonomi.
Pengungkapan sustainability report di kebanyakan negara, termasuk Indonesia masih bersifat voluntary dan dalam tahap pengenalan dimana masih sedikit perusahaan yang tertarik untuk mengungkapkan sustainability report. Sustainability reporting semakin mendapat perhatian dalam praktek bisnis global dan menjadi salah satu criteria dalam menilai tanggung jawab social suatu perusahaan. Para pemimpin perusahaan – perusahaan dunia semakin menyadari bahwa pengungkapan laporan yang lebih komprehensif (tidak hanya sekedar laporan keuangan) akan mendukung strategi perusahaan. Selain itu juga dapat menunjukkan komitmen mereka terhadap sustainable development. Pengungkapan sustainability report juga dapat meningkatkan kinerja keuangan dan membangun legitimasi perusahaan.
BLH
Image Sources: Google Image
Comments :