A. Perdagangan Internasional dan Perusahaan Multinasional

Seiring dengan berkembangnya era globalisasi, perdagangan internasional memberikan dampak signifikan kepada ekonomi suatu negara, ekonomi suatu kawasan, maupun ekonomi dunia secara keseluruhan. Perkembangan yang cepat dalam hal teknologi, transportasi dan komunikasi telah mendorong meningkatnya perdagangan internasional. Perusahaan multinasional (multinational enterprises) sebagai pelaku perdagangan internasional memanfaatkan perkembangan teknologi, transportasi, dan komunikasi untuk menjalankan grup usahanya di beberapa negara. Dengan menjalankan usaha di beberapa negara, perusahaan multinasional mendapatkan keuntungan atas skala ekonomi terhadap barang yang diproduksi/dijual, memperluas pangsa pasar (market share) sekaligus meningkatkan efisiensi dalam manajemen rantai suplai (supply chain management) untuk grup usaha secara keseluruhan.

Mengingat bahwa perusahaan multinasional melakukan operasi di beberapa negara yang memiliki ketentuan dan tarif pajak yang berbeda-beda, terdapat risiko bagi administrasi perpajakan (tax administration) di setiap negara tentang adanya kemungkinan upaya penghindaran pajak melalui transaksi yang terjadi antara perusahaan multinasional yang tergabung dalam suatu grup usaha yang berkedudukan di negara yang berbeda. Pada umumnya, upaya penghindaran pajak dapat dilakukan antara lain dengan melakukan penggeseran laba (profit shifting) dari suatu negara ke negara yang lain melalui transaksi antara pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa yang berkedudukan di negara yang berbeda (cross-border transactions). Penggeseran laba juga dapat terjadi antara pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa yang berkedudukan di negara yang sama (domestic transactions) dengan cara memanfaatkan perbedaan tarif pajak yang disebabkan antara lain, dalam hal perlakuan pengenaan Pajak Penghasilan final atau tidak final pada sektor usaha tertentu, perlakukan pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, atau transaksi yang dilakukan dengan Wajib Pajak Kontraktor Kontrak Kerjasama Migas.

Secara universal, transaksi antara pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa (dalam satu grup usaha) dikenal sebagai transaksi afiliasi (affiliated transactions). Sedangkan harga yang ditentukan dalam transaksi afiliasi secara umum dikenal sebagai penentuan harga transfer (transfer pricing).

B. Hubungan Istimewa

Dalam Pemeriksaan transfer pricing, definisi hubungan istimewa mengacu pada peraturan perpajakan yang berlaku. Konsep hubungan istimewa diatur dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan dan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai yang menyatakan bahwa hubungan istimewa dianggap ada apabila:

  1. Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain; hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih; atau hubungan di antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir;
  2. Wajib pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau
  3. terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat.

Penjelasan Pasal 18 ayat (4) huruf b Undang-Undang Pajak Penghasilan menyatakan bahwa:

  1. hubungan istimewa di antara Wajib Pajak dapat juga terjadi karena penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi walaupun tidak terdapat hubungan kepemilikan;
  2. hubungan istimewa dianggap ada apabila satu atau lebih perusahaan berada di bawah penguasaan yang sama. Demikian juga hubungan di antara beberapa perusahaan yang berada dalam pengusaan yang sama tersebut.

Penentuan hubungan istimewa dan kewajaran transaksi afiliasi untuk Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang pertambangan minyak dan gas bumi, pertambangan umum dan pertambangan lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 33A ayat (4) UU PPh adalah berdasarkan ketentuan kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan yang masih berlaku sampai dengan berakhirnya kontrak atau perjanjian kerjasama dimaksud. Dalam hal kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan tidak mengatur hal tersebut, maka penentuan hubungan istimewa dan kewajaran transaksi afiliasi Wajib Pajak tersebut ditentukan berdasarkan Pasal 18 ayat (4) dan Pasal 18 ayat (3) UU PPh.

C. Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (Arm’s Length Principle/ALP)

Bahwa transaksi antara pihak-pihak yang independen adalah transaksi yang mencerminkan kekuatan pasar (market force) dan mencerminkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (arm’s length principle).

Mengingat bahwa transaksi afiliasi yang melibatkan Wajib Pajak dengan pihak afiliasinya dapat digunakan sebagai alat untuk menghindarkan pajak, maka Direktur Jenderal Pajak diberi kewenangan untuk menguji penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (arm’s length principle) pada transaksi afiliasi tersebut.

Kewenangan Direktur Jenderal Pajak untuk menguji penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (arm’s length principle) pada transaksi antara Wajib Pajak dengan pihak afiliasinya (affiliated transactions) dinyatakan dalam Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Pajak Penghasilan sebagai berikut.

Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa dengan menggunakan metode perbandingan harga antara pihak yang independen, metode harga penjualan kembali, metode biaya-plus, atau metode lainnya.

Penjelasan pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Pajak Penghasilan menyatakan bahwa;
Maksud diadakannya ketentuan ini adalah untuk mencegah terjadinya penghindaran pajak yang dapat terjadi karena adanya hubungan istimewa. Apabila terdapat hubungan istimewa, kemungkinan dapat terjadi penghasilan dilaporkan kurang dari semestinya ataupun pembebanan biaya melebihi dari yang seharusnya. Dalam hal demikian, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan/atau biaya sesuai dengan keadaan seandainya di antara para Wajib Pajak tersebut tidak terdapat hubungan istimewa. Dalam menentukan kembali jumlah penghasilan dan/atau biaya tersebut digunakan metode perbandingan harga antara pihak yang independen (comparable uncontrolled price method), metode harga penjualan kembali (resale price method), metode biaya-plus (cost-plus method), atau metode lainnya seperti metode pembagian laba (profit split method) dan metode laba bersih transaksional (transactional net margin method).

Demikian juga dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, dinyatakan bahwa dalam hal Harga Jual atau Penggantian dipengaruhi oleh hubungan istimewa, maka Harga Jual atau Penggantian dihitung atas dasar harga pasar wajar pada saat penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak itu dilakukan.

Dengan demikian, Pemeriksaan transfer pricing terhadap transaksi afiliasi pada hakikatnya adalah suatu pengujian atas penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha pada transaksi afiliasi tersebut.

Jenis transaksi afiliasi antara lain:

  1. transaksi penjualan, pembelian, pengalihan, serta pemanfaatan harta berwujud,
  2. transaksi pemberian jasa intra-grup (intra-grup service),
  3. transaksi pengalihan dan pemanfaatan harta tak berwujud,
  4. transaksi pembayaran bunga, dan
  5. transaksi penjualan atau pembelian saham.

Pedoman Pemeriksaan Pajak terkait hubungan istimewa  disusun untuk menguji penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (arm’s length principle) pada transaksi afiliasi (affiliated transactions).

Sumber: PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-22/PJ/2013

LDP

Image Source: Google Image