Oleh: Ahmad Dahlan, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Seorang wajib pajak bercerita. Salah seorang pegawainya telah menggelapkan uang pajak. Uang untuk pembayaran PPh Final tahun pajak 2015 ditilep. Wajib pajak percaya saja kepada pegawainya hanya dengan mengetahui dari rekening koran perusahaan terdapat pencairan cek sebesar uang pajak. Akibat perbuatan pegawainya itu, wajib pajak dikenai tagihan sebesar pokok pajak yang digelapkan ditambah sanksi bunga maksimal 48 persen.

Di akhir cerita, wajib pajak menyampaikan kritikan halus kepada Ditjen Pajak. Mestinya Ditjen Pajak dapat mengetahui kesalahan tersebut sejak awal. Dengan begitu, wajib pajak tidak harus dikenai sanksi bunga sebesar maksimal 48 persen itu.

Undang-undang pajak memang mengamanatkan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak untuk melakukan pemeriksaan terhadap wajib pajak dalam jangka waktu lima tahun. Apabila dari hasil pemeriksaan terdapat pajak yang kurang dibayar, kepada Wajib Pajak akan dikenai tagihan sebesar pajak yang kurang dibayar ditambah sanksi bunga 2% per bulan maksimal 24 bulan. Hal ini diatur dalam Pasal 13 Ayat (1) dan (2) Undang-undang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (UU KUP)

Keterbatasn SDM Ditjen Pajak dibandingkan jumlah wajib pajak, memungkinkan kesalahan wajib pajak baru diketahui setelah melewati 24 bulan (2 tahun). Batasan sanksi bunga maksimal 24 bulan, dimaksudkan agar kepada wajib pajak tidak dikenai sanksi terlalu besar akibat terlalu lamanya Ditjen Pajak mendeteksi kesalahan wajib pajak. Jadi maksimal sanksi bunga yang dapat dikenakan kepada wajib pajak hanya 48% meskipun kesalahannya baru diketahui Ditjen Pajak melebihi dua tahun.

Namun bagi wajib pajak jumlah 48% ini dirasa masih terlalu besar. Andai saja kesalahan itu bisa diketahui dari awal, sanksi bunga yang dikenakan tentu saja masih kecil. Seperti yang dikeluhkan wajib pajak di atas.

Kasus yang menimpa wajib pajak di atas, bisa dicegah dengan Taxpayer Accounting, yaitu sebuah aplikasi yang baru-baru ini diluncurkan oleh Ditjen Pajak. Taxpayer Aacounting merupakan aplikasi yang digunakan untuk melakukan pencatatan akuntansi double entry atas transaksi perpajakan yang berkaitan dengan penerimaan pajak, piutang pajak, dan utang kelebihan pembayaran pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Saat ini, Ditjen Pajak baru menunjuk dua belas Kantor Pelayanan Pajak (KPP) sebagai KPP Piloting aplikasi Taxpayer Accounting. Rencananya, tanggal 1 Januari 2019 nanti, Taxpayer Accounting akan diterapkan di kantor pajak di seluruh Indonesia. Taxpayer Accounting merupakan bagian dari Reformasi Perpajakan Jilid III yang sedang bergulir saat ini.

Nantinya, setiap wajib pajak akan mendapatkan aplikasi e-Taxpayer Account yang dapat diunduh melalui playstore dan App storeserta penyedia aplikasi lain. Melalui aplikasi ini, wajib pajak dapat mengetahui kondisi terkini terkait hak dan kewajiban perpajakannya hanya dari telepon seluler, tanpa harus mendatangi kantor pajak.

Ketika wajib pajak telah mempercayakan kepada pegawainya untuk melakukan pembayaran pajak, selanjutnya wajib pajak tinggal mengecek melalui aplikasi e-Taxpayer Account, apakah pajak tersebut telah benar-benar dibayar. Jika ternyata belum, wajib pajak tinggal menindaklanjuti sebagai mestinya. Dengan begitu, kesalahan wajib pajak dapat dicegah tidak sampai berlarut-larut, sehingga sanksi bunga maksimal 48 dapat dihindari.

Hal demikian tentu saja membutuhkan dukungan wajib pajak, dalam hal ini pemilik atau pimpinan perusahaan untuk awareterhadap kewajiban perpajakannya. Kerja sama antara wajib pajak dan petugas pajak memang sangat diperlukan dalam menyukseskan setiap program Ditjen Pajak, termasuk program Taxpayer Accounting.(*)

Taxpayers Accounting, Deteksi Kesalahan Wajib Pajak Sejak Dini

Sumber:http://www.pajak.go.id/article/taxpayers-accounting-deteksi-kesalahan-wajib-pajak-sejak-dini

SH