Oleh: Imam Dharmawan, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Kebutuhan Manusia akan Gadget atau Handphone

Di masa kini, siapa yang tidak kenal dengan namanya handphone atau telepon genggam. Rata-rata hampir semua orang di Indonesia, tak terkecuali generasi muda, baik anak-anak dan remaja sudah mahir menggunakan handphone mereka. Setiap orang memiliki fungsi dan kegunaan yang berbeda dalam menggunakan gadget-nya, ada yang sekadar komunikasi, menjalankan bisnis, kebutuhan bekerja, bersantai dengan nge-gamebrowsing informasi teraktual, maupun hanya untuk berbelanja melalui online shop di media sosialnya. Terkhusus di Indonesia, transaksi jual beli melalui bisnis online atau online shop tentunya sudah bukan menjadi hal yang asing bagi setiap orang.

Fakta-fakta Masyarakat Indonesia Gemar Berbelanja Daring

Menurut laporan Asia Social Commerce Report yang dihimpun PayPal, yang mana penelitiannya turut melibatkan pedagang kecil dan medium, diungkapkan suatu fakta bahwa 67 persen warga Asia gemar berbelanja secara online atau dalam jaringan (daring). Alasannya masuk akal, mayoritas para pedagang memanfaatkan media sosial untuk mempromosikan produk dan jasanya. Hal yang mengejutkan tentunya diketahui bahwa 80 persen pedagang daring di Asia, mengaku menjajakan produknya di media sosial, di mana 80 persennya adalah para pedagang daring di Indonesia. Facebook bersaudara mendominasi platform yang menjadi lapak para pedagang Asia, tak terkecuali Indonesia. Facebook sendiri menjadi media sosial terpopuler bagi para penjual untuk menawarkan produk dan jasanya.

Tercatat, Indonesia menjadi negara kedua tertinggi yang memanfaatkan Facebook untuk membuka lapak daring dengan persentase 92 persen, di bawah Filipina yang mencapai 94 persen. Selain Facebook, platform populer yang menjadi favorit para pedagang online adalah WhatsApp. “Anak” Facebook ini digemari 76 persen pedagang daring Indonesia, nomor dua setelah India dengan persentase 83 persen. Instagram mulai merangsek menjadi platform baru yang banyak dilirik para pedagang daring Indonesia sebanyak 72 persen, paling tinggi di antara lima negara lain.

Tak hanya media sosial buatan Amerika saja, platform buatan Asia juga ikut menunjukkan taji. Salah satunya adaah media sosial buatan Jepang, Line juga masih banyak digunakan di Indonesia dengan prentase 50 persen, lebih kecil dibanding Thailand dengan persentase 74 persen. Selain metode pemasaran yang beralih ke platform digital, metode pembayaran pun ikut terpengaruh. Sebanyak 72 persen metode pembayaran di pedagang online Indonesia telah menggunakan metode digital, seperti menggunakan e-wallet atau sistem in-app payment. Persentase ini melampaui metode tradisional seperti menggunakan kartu kredit atau debit dan transfer bank dengan persentase 25 persen, serta metode pembayaran tunai dengan persentase 3 persen saja. Hasil studi tersebut menunjukan bahwa sosial media menjadi lapak bisnis online yang mulai banyak dilirik pedagang daring.

Alasan Mengapa Media Sosial jadi Target Bisnis Daring

Ada beberapa alasan mengapa media sosial menjadi pilihan bisnis online, yang pertama sebesar 56 persen pedagang daring Indonesia beralasan jika menjajakan produk dan jasanya via daring bisa memanfaatkan jaringan pertemanan dan kerabat. Selain itu, yang kedua 64 persen di antaranya meyakini jika promosi menggunakan media sosial lebih mudah, dan alasan ketiga yakni 60 persen responden asal Indonesia merasa lebih mudah memperluas pemasarannya melalui media sosial.

Potensi Pajak dalam Belanja Daring di Sosial Media

Dengan fenomena berbelanja secara daring atau e-Commerce yang semakin digemari oleh banyak masyarakat, tentu saja akan meningkatkan transaksi-transaksi belanja yang pada dasarnya jika sesuai ketentuan dapat dikategorikan sebagai objek pajak. Dengan mengutamakan asas keadilan, pedagang daring pun sepatutnya diperlakukan sama dengan pelapak offline, yaitu sama-sama dikenakan pajak. Dari berbagai sisi bila dibandingkan dengan pelapak biasa atau pelapak offline, pedagang daring justru menggunakan biaya modal yang lebih sedikit dengan tidak adanya biaya sewa lapak atau tempat untuk menjual barangnya.

Pemerintah Indonesia dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP) harus senantiasa selalu hadir dalam mengawasi setiap transaksi-transaksi daring yang ada di media sosial. Jika pengawasan transaski daring ini dilakukan dengan efektif, Ada banyak sekali potensi Pajak yang dapat menyumbang kas negara. Misalnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN), jika saja setiap transaksi daring yang sesuai ketentuan menjadi objek PPN dapat diliat dan terekam oleh DJP, mungkin saja target penerimaan perpajakan Indonesia dari sektor PPN dapat tercapai dan hasilnya bisa digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia. (*)

Potensi Pajak dari Lapak Bisnis Online di Media Sosial

Sumber:http://www.pajak.go.id/article/potensi-pajak-dari-lapak-bisnis-online-di-media-sosial

SH