Oleh: Fransiskus Xaverius Herry Setiawan, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu sebagai pengganti  Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2013 telah dilaunching oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 22 Juni 2018 di JX International (Jatim Expo) Surabaya. PP Nomor 23 Tahun 2018 ini berlaku secara efektif per 1 Juli 2018. Kegiatan peluncuran PP ini kemudian dilanjutkan dengan sosialisasi di Sanur Paradise, Prime Plaza Hotel, Bali pada tanggal 23 Juni 2018. Sebanyak 2.000 pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) menghadiri peluncuran ketentuan tersebut. Sementara itu sekitar  1.000 pengusaha UMKM menghadiri sosialisasi  PP Nomor 23 Tahun 2018 yang berlangsung di Bali.

Penurunan Tarif Pajak UMKM

Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 pada dasarnya mengatur pengenaan PPh Final Pasal 4 Ayat (2) bagi wajib pajak yang memiliki peredaran bruto (omset) sampai dengan 4,8 Miliar Rupiah dalam satu Tahun Pajak. Pokok-pokok perubahannya diantaranya adalah penurunan tarif PPh Final atas Penghasilan Bruto Tertentu dari semula 1% menjadi 0,5% dari omzet. PPh Final ini harus dibayarkan setiap bulan sebelum tanggal 15 bulan berikutnya dan tergantung dari besar kecilnya omset wajib pajak setiap bulan.

Berbeda dengan PP Nomor 46 Tahun 2013 yang tidak membatasi jangka waktu pengenaan tarif PPh Final, Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 sudah mengatur mengenai jangka waktu pengenaan tarif PPh Final 0,5% baik untuk Wajib Pajak Orang Pribadi Maupun Badan. Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi diberikan jangka waktu selama 7 tahun. Sementara bagi Wajib Pajak Badan berbentuk koperasi, CV, dan Firma diberikan jangka waktu yang lebih singkat yaitu selama 4 tahun. Lain lagi untuk Wajib Pajak Badan yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT) jangka waktunya paling singkat yaitu 3 tahun saja.

Keadilan

Menurut Adam Smith dalam bukunya Wealth of Nations, salah satu ajaran yang terkenal mengenai perpajakan adalah The Four Maxims. Menurut Smith ada empat asas pemungutan pajak yaitu, asas Equality (keadilan), asas Certainly (kepastian hukum), asas Convenience of Payment (Pemungutan Pajak Tepat Waktu), dan asas Eficiency (Efisiensi). Asas Equality (keadilan) memberi penekanan bahwa pemungutan pajak dilakukan oleh negara harus sesuai dengan kemampuan dan penghasilan wajib pajak. Negara tidak boleh bertindak diskriminatif terhadap wajib pajak.

Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 didasari oleh desakan para pelaku usaha terutama UMKM yang merasa bahwa tarif PPh Final atas Penghasilan Bruto Tertentu yang berlaku selama ini terlalu tinggi dan memberatkan. Hal ini terungkap dalam fans page resmi Presiden Joko Widodo yang menceritakan bahwa dalam beberapa pertemuan, pelaku UMKM mengeluhkan tingginya tarif PPh Final yang 1%. Mereka menghendaki agar tarif tersebut diturunkan menjadi 0,5% atau 0,25%.

Hal inilah yang memicu Presiden sehingga memerintahkan Menteri Keuangan dan Dirjen Pajak untuk menghitung ulang total penerimaan pajak dari UMKM dan berapa besarnya keringanan tarif yang bisa diberikan kepada pelaku UMKM. Sehingga kemudian lahirlah PP Nomor 23 Tahun 2018 yang memberikan keringanan tarif PPh Final bagi pelaku UMKM menjadi 0,5%. Dengan penurunan tarif ini diharapkan mampu memberikan rasa keadilan bagi para pelaku UMKM sehingga mereka dapat membayar pajak sesuai dengan kemampuannya seperti yang dimaksudkan oleh Adam Smith.

Peraturan Pemerintah ini juga dimaksudkan untuk mendorong pelaku UMKM agar lebih ikut berperan aktif dalam kegiatan ekonomi formal dengan cara memberikan kemudahan dan kesederhanaan kepada para pelaku UMKM dalam pembayaran pajak dan pengenaan pajak. Selain itu PP ini juga memberikan keadilan kepada wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu tetapi sudah mampu melakukan pembukuan. Wajib Pajak yang termasuk dalam kategori ini dapat memilih untuk dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan. Sebuah pilihan yang sebelumnya tidak ada di PP Nomor 46 Tahun 2013.

Kejujuran Wajib Pajak

Berdasarkan Bagian Penjelasan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, Indonesia menganut sistem perpajakan self assessment. Self assessment merupakan suatu sistem perpajakan yang memberikan kepercayaan dan tanggung jawab kepada Wajib Pajak untuk mendaftarkan dirinya untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri pajak terutang. Hal ini mengandung arti bahwa penentuan penetapan besarnya pajak yang terutang dipercayakan kepada wajib pajak sendiri. Selanjutnya perhitungan dan pembayaran pajak tersebut dilaporkan secara teratur melalui media atau surat  yang disebut Surat Pemberitahuan (SPT).

Kepercayaan yang diberikan oleh Undang-Undang kepada wajib pajak idealnya ditunjang dengan kesadaran wajib pajak tentang kewajiban perpajakan, keinginan untuk membayar pajak terutang, kerelaan wajib pajak untuk menjalankan peraturan perpajakan yang berlaku, dan kejujuran wajib pajak untuk mengungkapkan keadaan sebenarnya. Hal ini dipertegas dalam Pasal 3 UU KUP yang mewajibkan setiap Wajib Pajak untuk mengisi SPT dengan benar, lengkap dan jelas. Benar adalah benar dalam perhitungan, termasuk benar dalam penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dalam penulisan, dan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.

Dengan adanya penurunan tarif ini tentu saja pemerintah berharap wajib pajak yang selama ini merasa keberatan dengan tarif 1% bisa lebih jujur mengungkapkan omset yang sebenarnya dari usaha yang dimiliki. Penurunan tarif PPh Final UMKM menjadi 0,5% merupakan kesempatan kedua bagi Wajib Pajak pasca Tax Amnesty untuk menghitung, membayar dan melaporkan penghasilannya sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Demikian juga dengan pelaku UMKM yang selama ini belum mendaftarkan diri dan berkontribusi bagi negeri. Wajib pajak yang semula masih keberatan dengan tarif 1%, bisa tergerak dan berinisatif mendaftarkan diri, mempunyai NPWP dan mulai membayar pajak dengan tarif baru 0,5%. Sedangkan Wajib Pajak UMKM yang memiliki peredaran bruto tertentu dan merasa keberatan dengan tarif 0,5% masih mempunyai pilihan untuk melakukan pembukuan dan dikenakan pajak menggunakan tarif Pasal 17 UU Pajak Penghasilan. Tentu saja semua ini harus dilandasi dengan kejujuran dan itikad baik untuk membayar pajak dengan benar.

Sebagaimana yang dinyatakan oleh Presiden Jokowi, “Nilai kejujuran tak dapat ditawar-tawar, karena merupakan sesuatu yang fundamental dalam membangun karakter bangsa. Sebuah negara akan besar dan dihormati bangsa lain jika memiliki integritas yang tinggi, pemimpin yang jujur, dan memiliki rakyat yang juga penuh dengan kejujuran dan berintegritas.

Penurunan Tarif Pajak UMKM, Antara Keadilan dan Kejujuran Wajib Pajak

Sumber:http://www.pajak.go.id/article/penurunan-tarif-pajak-umkm-antara-keadilan-dan-kejujuran-wajib-pajak

SH