Oleh: Fri Okta Fenni, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Ngapain sih bayar pajak? Mending sedekah ke masjid?” Penolakan serupa ini sering sekali disampaikan para pelaku usaha di daerah. Apalagi Aceh yang mahsyur dengan predikat “Serambi Mekkah”-nya. Pajak dan masjid bagi mereka adalah dua hal yang amat berbeda. Bagai air dan minyak. Tidak bakal menyatu sampai kapan pun.

Aceh boleh berbangga dengan situs sejarah kebesaran Islam peninggalan leluhurnya. Berkunjunglah ke sana dan pijakkan kaki ke sebuah masjid yang menorehkan cerita kegemilangan Islam pada masanya. Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh berdiri gagah tepat di jantung kota yang telah menerapkan syariat Islam dalam sendi kehidupan dan tatanan pemerintahannya.

Puncaknya tepat pada awal Ramadan kemarin, jamaah Salat Tarawih membludak. Masjid ikonik ini menampung ribuan pengunjungnya hingga meluber ke area luar gerbang masjid. Sungguh pemandangan yang membuat decak kagum siapa saja yang menyaksikannya.

Sejak tahun 2015 masjid kebanggan masyarakat Aceh ini telah direnovasi menjadi sebuah maha karya yang mampu menjadikan Aceh diperhitungkan dalam sektor pariwisata kelas dunia.

Pada 2016 lalu, Masjid Raya Baiturrahman menyabet predikat ‘Daya Tarik Wisata Terbaik’ dalam Kompetisi Pariwisata Halal Nasional dan Kompetisi Pariwisata Halal Dunia di Abu Dhabi.

Payung-payung elektrik yang menaungi lantai marmer menggantikan hamparan rumput hijau yang dulunya menutup sekeliling halaman.

Sebanyak dua belas unit payung raksasa dengan kolam persegi panjang yang dihiasi air mancur serta taman di tengahnya, menyulap Masjid Raya Baiturrahman layaknya Masjid Nabawi di Madinah, Arab Saudi.

Semua bahan baku yang dipakai untuk memperindah tampilan masjid yang memiliki daya tampung lima belas ribu jamaah itu didatangkan dari luar negeri. Marmer buatan Italia yang dalam perjalanannya ke Aceh mesti mampir ke Cina dulu untuk di potong-potong sesuai ketebalan yang dibutuhkan. Sedang bahan baku payung raksasanya didatangkan dari Jerman. Ternyata harga satu unit payung tersebut setara dengan sepuluh sampai dengan sebelas miliar rupiah.

Proyek yang dikerjakan PT Waskita Karya tersebut menghabiskan dana tak kurang dari Rp458 miliar. Sebuah angka yang fantastis dari keseluruhan nilai proyek yang digadang bakal menelan dana total hingga 1,4 triliun rupiah.

Sumber pendanaan mega proyek ini menggunakan dana Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Aceh termasuk satu dari tiga provinsi di Indonesia yang mendapatkan hak otonomi khusus. Artinya di setiap tahunnya Aceh akan mendapatkan transfer dana otonomi khusus dari pemerintah pusat yang jumlahnya menjadi bagian yang mendominasi hingga 53% porsi APBD itu sendiri.

Pemerintah pusat sejak tahun 2008 hingga 2027 mendatang akan terus mengucurkan dana otonomi khusus ini. Jumlahnya setiap tahun berkisar di angka delapan triliun rupiah. Tentu saja alokasi tersebut bersumber dari mana lagi kalau bukan dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).

Tahukah kita bahwa 80% APBN tersebut datangnya dari penerimaan pajak?
Jadi, masjid dan pajak itu sebenarnya tak jauh. Bahkan erat berkaitan. Sinergi masyarakat dan pemerintah akan kesadaran pentingnya pajak bagi  pembangunan yang berkesinambungan adalah modal awal untuk memajukan daerah otonomi secara khusus dan lingkup negara pada umumnya.

Menyoal tentang sedekah ke masjid, agaknya petugas pajak akan rela hitung-hitungan pada jumlah pajak yang seharusnya dibayar jika yang disedekahkan pengusaha itu senilai harga satu unit payung raksasa impor buatan Jerman tersebut.

Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh

Sumber:http://www.pajak.go.id/article/membumikan-pajak-di-serambi-mekkah

SH