Oleh: Amy Sabrina Khairunnisa, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Di era tahun 2016 sampai dengan saat ini, istilah influencer mulai dikenal oleh masyarakat luas. istilah ini mulai dikenal sejak boomingnya aplikasi media sosial seperti instagram dan youtube. Influencer adalah orang-orang yang memiliki followers atau audience yang cukup banyak dan mereka punya pengaruh yang kuat terhadap followers mereka, seperti artis, selebgram, blogger, youtuber, dan lain sebagainya.

Bila diibaratkan sebagai seorang influencer, sebetulnya semua pegawai di Direktorat Jenderal Pajak bisa berperan sebagai influencer dalam menggaungkan reformasi perpajakan. Mengapa peranan dari seluruh internal sangat diperlukan dalam proses reformasi perpajakan ini? Karena resistansi pegawai menyumbang persentase terbesar sebagai salah satu faktor kegagalan program perubahan yaitu sebesar 39 persen, disusul oleh kurangnya dukungan dari pimpinan sebesar 33 persen, kurangnya anggaran sebesar 14 persen, dan faktor lainnya sebesar 14 persen (McKinsey:2008).

Apa yang mendorong dilakukannya reformasi perpajakan saat ini? Ada beberapa hal yaitu: adanya perlambatan ekonomi global yang akhirnya juga berdampak pada perlambatan ekonomi di Indonesia, perkembangan ekonomi digital yang mengharuskan kita untuk menyesuaikan dengan perkembangan informasi dan teknologi yang sedang terjadi dengan begitu cepat, adanya target yang terus meningkat, dan turunnya tax ratio dalam lima tahun terakhir.

Tax ratio merupakan perbandingan atau persentase penerimaan pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Rasio ini menyatakan jumlah pajak yang dikumpulkan pada suatu masa berbanding dengan pendapatan nasional atau PDB di masa yang sama. Tax ratio merupakan salah satu indikator untuk menilai kinerja penerimaan pajak. DIlansir dari berita di situs republika.co.id, tax ratio ditahun 2016 sebesar 10,4 persen, angka itu menurun dari 2015 yakni 10,8 persen. Sebelumnya pada 2014 sebesar 10,9 persen, bahkan pada 2013 mencapai 11,3 persen.

“Reformasi itu bukan berarti menolak masa lalu, akan tetapi kita memeluk masa lalu dan mengambil apa yang bisa diambil dan diperbaiki. bertolak dari masa lalu itulah kita ingin memperbaiki masa yang akan datang” (ungkap Yustinus Prastowo, Direktur Center for Indonesia Tax Analysis dalam sebuah acara lokakarya yang diadakan oleh P2 Humas Direktorat Jenderal Pajak). Kita perlu memiliki kemampuan membaca tanda-tanda zaman. Apa yang dimaksud dengan hal tersebut? Apa yang membedakan antara reformasi dari tahun 1983 sampai dengan saat ini?

Pada tahun 1983 suatu proses reformasi perpajakan dibilang sangat fenomenal hingga melahirkan reformasi Undang-undang perpajakan berupa peralihan ke sistem Self Assesment, lanjut di tahun 1991 sampai tahun 2000 tejadi revisi undang-undang perpajakan berupa penyederhanaan jenis pajak, tahun 2000 sampai tahun 2001 terjadi reformasi birokrasi dengan ditetapkannya visi dan misi dari Direktorat Jenderal Pajak, tahun 2002 sampai 2008 ditandai dengan adanya modernisasi administrasi perpajakan dan amandemen undang-undang perpajakan, lanjut di tahun 2009 sampai tahun 2014 yaitu dengan adanya peningkatan kontrol diinternal Direktorat Jenderal Pajak, kemudian ditahun 2016 muncul undang-undang pengampunan pajak yang menyita perhatian hampir seluruh masyarakat di Indonesia bahkan di dunia.

Banyak negara-negara lain yang mengakui keberhasilan dari program pengampunan pajak yang dijalankan di Indonesia. Dan ditahun 2017 sampai dengan nanti di 2020 reformasi perpajakan Jilid III sudah mulai berjalan dan sedang digodok oleh Direktorat Jenderal Pajak dengan tujuan menjadi institusi perpajakan yang kuat, kredibel, dan akuntabel, yang menjadikan sinergi antar lembaga menjadi optimal, kepatuhan wajib pajak meningkat, dan tax ratio sesuai dengan harapan yaitu mencapai angka 15 persen.

Bila semua pihak internal di Direktorat Jenderal Pajak yang jumlahnya mencapai puluhan ribu berhasil menjadi influencer reformasi perpajakan, tidak mustahil akan menimbulkan dampak positif terhadap kesadaran akan perubahan yang sedang dilakukan. Setelah kesadaran itu muncul, beranjak ke tahap berikutnya dalam kurva ikhtisar komunikasi yaitu  memahami perubahan tersebut lebih dalam lagi , memahami alasan mengapa tax reform dilakukan, kemudian memahami peran dan keterlibatan dirinya untuk memitigasi dampak yang terjadi sehingga mulai menyiapkan diri dengan pengetahuan dan keterampilan terkait perubahan. Kemudian lanjut ke proses perubahan dengan mencoba menggunakan sistem dan secara aktif mencari informasi terkait sistem tersebut, dan sampai pada akhirnya semua berkomitmen untuk mendukung dan mengadopsi perubahan secara berkelanjutan.

influencer reformasi perpajakan

Sumber:http://www.pajak.go.id/article/influencer-reformasi-perpajakan

SH