Oleh: Alif Radix Tegar Sejati, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Terus melemahnya rupiah akhir-akhir ini memaksa pemerintah mengeluarkan kebijakan fiskal dengan menaikkan tarif PPh Impor (PPh Pasal 22) terhadap mayoritas komoditas impor melalui PMK Nomor 110/PMK.010/2018 tentang Perubahan atas PMK Nomor 34/PMK.010/2017 tentang Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan dengan Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain. Kebijakan ini diambil tidak lain untuk mengurangi laju impor barang dan jasa akibat defisit neraca perdagangan (trade balance) Indonesia yang cukup besar. Pengaruh rencana kenaikan suku bunga The Fed dan isu perang dagang Amerika Serikat-Cina memberikan sentimen negatif bagi investor karena negara emerging market seperti Indonesia memiliki investor yang kebanyakan merupakan investor luar sehingga mudah terpengaruh isu sentimen negatif.

Apabila kita melihat volatilitas mata uang negara berkembang lain di ASEAN seperti Thailand dan Malaysia, dapat kita lihat bahwa mata uang kedua negara tersebut tidak terdampak signifikan dari sentimen negatif faktor eksternal. Hal ini akibat tingginya surplus neraca transaksi berjalan (current account surplus) kedua negara tersebut dan fundamental ekonomi yang baik. Walaupun perekonomian Indonesia secara fundamental bisa dikatakan masih baik namun tingginya arus barang impor membuat pengaruh dollar AS di Indonesia sangatlah signifikan. Ditambah lagi neraca jasa yang selalu defisit makin menambah berat usaha untuk mencapai keseimbangan neraca transaksi berjalan di Indonesia.

Kenaikan tarif PPh impor yang dilakukan pemerintah merupakan salah satu fungsi dari pajak sendiri yaitu sebagai regulator untuk mengatur tercapainya keseimbangan ekonomi. Pemerintah tentu berharap dengan mengeluarkan kebijakan ini rupiah dapat kembali ke titik ekuilibriumnya setelah melemah hingga 8 persen sejak awal tahun 2018. Volatilitas rupiah yang tinggi tentu diharapkan hanya bersifat sementara karena hal ini dipengaruhi oleh faktor eksternal bukan dari faktor domestik di mana memang banyak negara berkembang lain yang terdampak oleh penguatan dollar AS. Tidaklah relevan apabila kita menyalahkan pemerintah atas situasi saat ini dan alangkah baiknya apabila kita mendukung kebijakan fiskal pemerintah untuk mengatasi volatilitas rupiah yang tinggi.

Di luar kebijakan kenaikan tarif PPh impor, pemerintah juga bisa mempertimbangkan pemberian relaksasi pajak untuk usaha eksportir serta mengevaluasi peraturan tax allowance dan tax holiday yang saat ini terlihat kurang menarik bagi investor. Insentif pajak untuk sektor ekspor dapat dipertimbangkan mengingat ekspor Indonesia selama ini masih didominasi dari komoditas mentah. Insentif perlu diberikan agar memacu ekspor barang jadi yang memiliki nilai tambah lebih tinggi di pasar internasional. Untuk mengatasi kendala seperti ketersediaan bahan baku yang tidak bisa dipenuhi oleh pasar domestik dapat dipertimbangkan adanya relaksasi pajak atas impor bahan tersebut.

Selain insentif untuk ekspor barang, perhatian juga perlu diberikan pada sektor pariwisata yang bisa diharapkan menjadi tulang punggung baru untuk mengatasi defisit neraca transaksi berjalan. Thailand bisa menjadi contoh negara yang berhasil dalam menjaga neraca transaksi berjalannya selalu surplus, hal ini tak lepas dari besarnya kontribusi sektor pariwisata di Thailand. Evaluasi berkelanjutan atas Insentif di sektor pariwisata juga perlu dilakukan secara berkala karena Indonesia dengan potensi pariwisata yang cukup besar tentu sangatlah memungkinkan apabila sektor ini bisa menjadi tumpuan untuk mengecilkan defisit neraca jasa. Ketersediaan infrastruktur tentu menjadi salah satu pertimbangan investor untuk membangung pariwisata Indonesia, di mana pembangunan infrastruktur di daerah sangat tergantung pada pendanaan dari pemerintah pusat di mana sumber penerimaan utama negara berasal dari sektor pajak.

Setelah penerapan kebijakan kenaikan PPh impor, alangkah baiknya pemerintah melakukan follow up dengan mendorong produksi dalam negeri atas barang-barang subtistusi untuk menggantikan impor. Momentum kenaikan PPh impor harus dimanfaatkan dengan baik oleh pemerintah agar kebijakan ini tidak hanya bersifat sementara namun dapat berimplikasi pada bergairahnya kembali sektor ekspor. Transparansi pemerintah dalam setiap kebijakan fiskal yang diambil juga akan menentukan reaksi investor dalam melakukan investasi di Indonesia.(*)

Sumber:http://www.pajak.go.id/article/peran-pajak-dalam-menghadapi-volatilitas-rupiah

SH